Senin, 05 Desember 2011

Perilaku Tercela

A. MENCACI

Mencaci dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan "mencacat keras, mencela, memaki, menistakan, mengeluarkan perkataan yang tidak sopan". Menurut istilah mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan mengandung makian dan hinaan terhadap orang lain, baik yang masih hidup, maupun yang telah meninggal dunia.

Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamien telah mengatur sedemikian rupa tata krama bergaul dan berbicara dengan sesama, sebagaimana disinyalir dalam Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 11 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Larangan mencela atau mencaci terhadap sesama makhluk Allah merupakan akhlak tercela, karena mencaci ciptaan Allah, bisa saja orang yang dicaci lebih baik dari pada orang yang mencaci. Demikian pula halnya mencela atau mencaci orang yang telah meninggal dunia.

Dari Aisyah ra., Rasulullah Saw. bersabda : 

لَا تَسُبَّ الْاَمْوَاتَ فَاِنَّهُمْ قَدْ اَفْضَوْا اِلىَ مَا قَدَّمُوا

Artinya : "Jangan kalian mencaci orang yang telah mati, karena mereka telah berangkat untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka." (HR.Ahmad, al-Bukhari dan an-Nasai). 

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. bersabda : 

لاَ تسُبَّوْا اَمْوَاتَنَا فَتُوَذوْ اَحْيَائَنَا

Artinya : "Janganlah kalian mencaci maki orang yang telah mati di antara kita, karena hal itu akan membuat sakit (menyinggung) yang masih hidup."

Sebaliknya Allah akan memberikan ampunan kepada siapa saja yang mengetahui aib seorang mayat, lalu menyembunyikannya. Aslam Abu Rafi bekas budak Nabi Saw. meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda :
Artinya : "Barang siapa memandikan mayat, lalu ia menyembunyikan aibnya, maka Allah akan memberikan ampunan kepadanya sebanyak empat puluh kali." (HR.Riwayat al-Hakim, dengan mengatakan shahih berdasar persyaratan Muslim).

Untuk lebih menegaskan masalah ini, ada baiknya kita perhatikan perkataan Ibnu as-Samak, seorang ulama kenamaan di masanya, beliau menegaskan "Selayaknya engkau tidak mengomentari (mencaci) saudaramu yang telah mati, karena tiga alasan, yaitu :
  1. Bisa jadi engkau menyangkanya berbuat sesuatu (keburukan) yang ternyata sama buruknya dengan yang engkau lakukan.
  2. Bisa jadi engkau mengejeknya, padahal ia telah memberikan kebaikan kepadamu (dengan mencaci atau mengejek, karena orang yang mencaci orang lain pada hakekatnya memberikan kebaikan kepada orang yang dicaci). Imam Abu Dawud di dalam Kitabul Adab dan Imam at-Tirmidzi di dalam Kitabul Janaiz menyebutkan hadits dari Mu'wiyah bin Hisyam, dari Imran bin Anas al-Makki, dari Atha' bin Umar ra. secara marfu' Nabi Saws. bersabda : "Sebutkan kebaikan-kebaikan orang yang telah mati, di antara kalian dan tahanlah lidahmu dari menyebutkan kejelekan-kejelekannya".
  3. Jika ternyata mayat yang dicaci ternyata ahli surga, maka engkau telah berdosa. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dengan sanadnya sendiri : "Janganlah kalian menyebut-nyebut orang yang telah mati di antara kalian selain kebaikannya. Karena kalau ia ahli surga, maka engkau telah berbuat dosa dan kalau ia ahli neraka, maka cuku bagi mereka apa yang mereka peroleh"
B. GHIBAH

Menurut bahasa Ghibah berarti menggunjing, yaitu "membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya, baik tentang keburukan atau aib otang lain" Sedangkan menurut istilah Ghibah didefinisikan "membicarakan kejelekan dan kekurangan orang lain dengan maksud mencari kesalahan-kesalahannya, baik jasmani, agama, kekayaan, akhlak ataupun bentuk lahiriyah lainnya". 

Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. :

 عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ اَتَدْوُرْنَ مَالْغِيْبَةُ قَالُوا اَللهُ وَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ اَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ اَفَرَيْبَ اِنْ كَانَ فِى مَااَقُوْلُ قَالَ اِنْ كَانَ فِيْهِ مَاتَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ   

Artinya : "Tahukan kalian apa itu Ghibah? Jawab para sahabat "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Maka Nabi Saw. bersabda "Engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya." Para Sahabat bertanya "Bagaimana jika diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu?" Nabi Saw. bersabda "Jika apa yang bicarakan benar-benar ada padanya, maka kamu telah meng-ghibah-nya dan jika apa yang kamu tidak ada padanya, maka kamu telah membuat kedustaan atasnya". (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

Ghibah termasuk perilaku tercela dan bertentangan dengan ajaran Islam dan hukumnya adalah haram, sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat : 12 : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Hal senada juga terdapat dalam sabda Rasulullah Saw. yang artinya :
"Muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara, tidak boleh mengkhianati, mendustakan dan menghina. Setiap muslim dengan muslim lainnya haram kehormatan, harta dan darahnya. Taqwa itu di sini! (kata Nabi Saw. sambil menunjuk pada dadanya). Cukup disebut orang jahat jika ia mencaci saudaranya sesama muslim." (HR. Muslim).

Adapun bentuk dan jenis Ghibah adalah sebagai berikut :
  1. Aib dalam Agama. Seperti mengatakan terhadap sesama muslim "Dia itu fasiq, atau fajir (suka berbuat dosa), pengkhianat, zalim, melalaikan shalat, kumuh, tidak bersih kalau bersuci, tidak memberikan zakat pada yang semestinya, suka meng-ghibah" dan kata-kata lain yang senada.
  2. Aib Fisik. Seperti mengatakan terhadap sesama muslim "Dia itu buta, tuli, bisu, lidahnya pelat/cadel, pendek, jangkung, hitam, gendut, ceking" dan sebagainya.
  3. Aib Duniawi. Seperti mengatakan terhadap sesama muslim "Dia itu kurang ajar, suka meremehkan orang lain, tukang makan, tukang tidur, banyak omong, sering tidur bulan pada waktunya, duduk bukan pada tempatnya" atau kata-kata lain yang semakna.
  4. Aib Keluarga. Seperti mengatakan terhadap sesama muslim "Dia itu bapaknya fasiq, Cina, tukang batu" dan semisalnya.
  5. Aib Karakter. Seperti mengatakan terhadap sesama muslim "Dia itu buruk akhlaknya, sombong, pendiam, ceroboh, lemah, sembrono" dan seumpamanya.
  6. Aib Pakaian. Seperti mengatakan "Bajunya kedodoran, kepanjangan, ketat, melewati mata kaki, dekil" atau semisalnya.
  7. Ghibah di kalangan Ulama. Seperti mengatakan terhadap sesama muslim "Bagaimana tuh kabarnya? (dengan maksud meremehkan), semoga Allah memperbaikinya, semoga Allah mengampuninya, semoga Allah memaafkan kita karena kurang rasa malu" atau sejenis dengan kata-kata meremehkan atau mengecilkan orang lain.
  8. Prasangka Buruk Tanpa Alasan. Hal ini merupakan ghibah hati.
  9. Mendengar Ghibah. Yaitu mendengarkan orang melakukan ghibah, tetapi tidak menegur dan tidak pula meninggalkan tempat ghibah itu.
Namun demikian, ada beberapa jenis ghibah yang diperboleh dengan maksud untuk mencapai tujuan yang benar dan tidak mungkin bisa tercapai, kecuali melalui ghibah, seperti :
  • Melaporkan perbuatan aniaya yang dilakukan oleh seseorang.
  • Usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari perbuatan maksiat.
  • Ghibah untuk tujuan meminta nasehat.
Adapun penyebab terjadinya perbuatan Ghibah, antara lain :
  • Karena dendam dalam hati.
  • Ingin menunjukan kelebihan dirinya dengan menyebutkan aib atau kekurangan orang lain.
  • Rasa dengaki atas kesuksesan yang telah dicapai orang lain.
  • Sebagai pelampiasan rasa marah.
  • Karena ingin menarik perhatian orang lain
  • Sengaja untuk menghina dan menjelekan orang lain
Bahaya dan akibat perilaku Ghibah adalah :
  • Menimbulkan kedengkian dan permusuhan.
  • Menjatuhkan nama baik seseorang.
  • Merusak persatuan dan persaudaraan.
  • Merusak iman
  • Menghapus amal kebaikan.
Melihat bahaya dan akibat ghibah begitu besar, maka perilaku tercela ini harus dihindarkan. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang harus dilakukan supaya dapat terhindar dari perilaku Ghibah, yaitu :
  1. Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah.
  2. Selali mengingat bahwa amal kebaikan akan berpindah kepada orang yang dipergunjingkannya.
  3. Hendaklah orang yang melakukan ghibah mengingat terlebih dahulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya.
  4. Menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan terjadinya ghibah.
  5. Selalu mengingatkan orang-orang yang melakukan ghibah, bahwa perbuatan itu dilarang agama.
C. NAMIMAH

Menurut bahasa Namimah berarti "mengadu domba". sedangkan menurut istilah Namimah didefinisikan "menyebar fitnah antara seseorang dengan orang lain dengan tujuan agar saling bermusuhan". Imam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan "Namimah biasaynya dipakai untuk menyebutkan aktivitas seseorang dalam memindahkan suatu perkataan dari satu orang atau kelompok kepada orang lain atau kelompok lain, seperti jika anda katakan kepada seseorang "ketahuilah bahwa si Fulan mengatakan demikian dan demikian tentang kamu".

Perbuatan Namimah adalah juga merupakan akhlak tercela dan dilarang oleh ajaran Islam, sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Qalam ayat : 10-14 :

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ. هَمَّازٍ مَّشَّاء بِنَمِيمٍ. مَنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ. عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ. أَن كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ

Artinya : Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah, yang bertabiat kasar, selain itu juga terkenal kejahatannya, karena dia kaya dan banyak anak.

Selanjutnya Rasulullah Saw. juga menerangkan tentang Namimah ini dalam sebuah hadits berikut :

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

Artinya : "Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba/menebar fitnah". (HR. Bukhari dan Muslim)

Contoh dan bentuk perilaku Namimah adalah :
  1. Mempunyai maksud yang tidak baik terhadap orang lain, terutama orang yang sedang diadu domba.
  2. Terlalu mudah percaya pada orang lain tanpa mengetahui kebenarannya.
  3. Suka berkumpul menggosip.
  4. Menjadi Provakator.
Bahaya dan akibat yang ditimbulkan oleh perilaku Namimah adalah :
  1. Tersebarnya fitnah.
  2. Timbulnya kekacauan dalam masyarakat.
  3. Timbulnya permusuhan.
Perilaku Namimah harus dihindarkan. Beberapa hal yang harus dilakukan supaya dapat terhindar dari perilaku Namimah, yaitu :
  1. Menyadari bahwa perilaku namimah menyebabkan seseorang tidak masuk surga meskipun rajin beribadah.
  2. Jangan mudah percaya pada seseorang yang memberikan informasi negatif tentang orang lain.
  3. Menghindari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku namimah, seperti berkumpul tanpa ada tujuan yang jelas, menggosip, ngerumpi dan lain-lain.

(Materi Pelajaran Akhlak Kelas XI IAI MA)
Dikutip dari berbagai sumber.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar