Tarekat Rifa'iyah pertama kali muncul dan berkembang luas di wilayah Irak bagian selatan, didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Beliau lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H / 1106 M. Sumber lain ada juga yang menyebukan beliau lahir pada tahun 512 H / 1118 M. Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat menulis bahwa Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah Irak bagian selatan. Ketika berusia tujuh tahun ayahnya meninggal dunia, kemudia beliau diasuh oleh pamannya Mansur al-Bathaihi, seorang syekh tarekat.
Selain berguru kepada pamannya Mansur al-Bathaihi beliau juga belajar pada pamannya Abu al-Fadl Ali al-Wasiti, terutama tentang mazhab fikih Imam Syafi'i, sehingga pada usia 21 tahun beliau telah berhasil memperoleh ijazah dan khirqah sembilan dari pamannya, sebagai pertanda telah mendapat wewenang untuk mengajar pula.
John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern menuliskan bahwa garis keturunan ar-Rifa'i sampai kepada Junaid al-Baghdadi (wafat 910 M) dan Sahl al-Tustari (wafat 896 M).
Pada tahun 1145 ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk ar-Rifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.
Tarekat Rifa'iyah berbeda dengan Organisasi Kemasyarakatan Rifa'iyah yang ada di Indonesia. Ormas Rifa'iyah didirikan oleh Syekh Haji Ahmad ar-Rifa'i al-Jawi bin Muhammad bin Abi Sujak bin Sutjowijoyo, yang lahir pada 9 Muharam 1200 H / 1786 M di Desa Tempuran Kabupaten Kendal, terakhir dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Pemerintahan SBY.
Tarekat Rifa'iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting dalam pelembangan sufisme. Di bawah bimbingan ar-Rifa'i tarekat ini tumbuh subur, sehingga dalam tempo yang tidak terlalu lama tarekat ini berkembangan luas keluar Irak, di antaranya ke Mesir dan Suriah. Hal ini disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah.
Perkembangan berikutnya Tarekat Rifa'iyah sampai ke kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, Kaukasus dan wilayah Amerika Utara. Para murid Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut, alhasil jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah meningkat dengan sistem syekh turun-temurun.
Tarekat Rifa'iyah juga sampai tersebar ke Indonesia, seperti di Aceh (terutama di bagian barat dan utara), di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang berarti "tabuhan rebana" berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat Rifa'iyah sendiri.
Walaupun Tarekat Rifa'iyah terdapat di tempat-tempat lain, namun menurut Esposito tarekat ini paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Amerika Serikat.
Pada akhir masa kekuasaan Turki Usmaniyah (Ottoman), Rifa'iyah merupakan tarekat penting, keanggotaannya meliputi tujuh persen dari jumlah orang yang masuk tarekat sufi di Istanbul.
Tarekat Rifa'iyah di Turki
Perkembangan Tareka Rifa'iyah di Turki dimasa pemerintahan Turki Usmaniyah terbilang sangat pesat. Sejarah mencatat beberapa nama mursyid Tarekat Rifa'iyah di Turki, salah satunya Syekh al-Huda Muhammad al-Shayyadi (1850-1909), kemudian Syekh Shayyadi mendirikan salah satu cabang penting Tarekat Rifa'iyah. Karena pengaruh Syekh Shayyadi terhadap Sultan Abdul Hamid II, Tarekat Rifa'i menjadi tarekat resmi Kesultanan Ottoman.
Selanjutnya, sebagaimana yang ditulis John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, di Turki dikenal sosok yang bernama Kenan Rifa'i (wafat 1950). Syekh Kenan tinggal di lingkungan kebanyakan bangsa Turki yang berbudaya dan berpendidikan tinggi, termasuk kaum perempuan dan orang-orang yang beragama Kristen.
Syekh Kenan mengajarkan sufisme sebagai cinta universal. Kemudian kecenderungan ini dimodifikasi Samiha Ayyerdi (membimbing orang-orang yang setia kepada ajaran Syari'ati setelag Syekh Kenan wafat) dengan karya politiknya yang tajam di Istanbul pada tahun 1979 dengan judul Let Us Be Not Slaves but Masters.
Tarekat Rifa'iyah di Timur Tengah
Di tanah Arab Tarekat Rifa'iyah hadir secara signifikan di Mesir, Palestina, Lebanon, Suriah dan tempat kelahirannya Irak. Pada awal abad ke-19 di Mesir tidak terdapat otoritas pusat di kalangan Rifa'iyah, namun sejak tahun 1970 pemimpin tertinggi Tarekat Rifa'iyah di Mesir adalah Mahmud Kamal Ya Sin, yang merupakan ketua cabang Amriyah dari Tarekat Rifa'iyah.
Kaum Rifa'iyah Mesir seperti kebanyakan kaum sufi Mesir, merasa bahwa salah satu faktor yang membedakan kaum sufi dari muslim lainnya adalah kesetiaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW dan keturunnya. Di Palestina pada tahun 1981 syekh Tarekat Rifa'iyah aktif yang utama adalah Kamil al-Jabari dari Hebron dan Nazhmi Aukal dari Nablus. Kaum Rifa'iyah di Tripoli Lebanon mulai aktif sejak tahun 1984. Pada saat itu terdapat lima zawiyah terkenal yang masih mempraktikkan ritual dzikir. Di Suriah setelah Naqsyabandiyah, Tarekat Rifa'iyah merupakan tarekat yang paling tersebar luas dan dinamis. Sejak awal tahun 1980-an cabang Suriah yang paling signifikan adalah cabang Abdul al-Hakim Abdul al-Basith al-Saqbani. Dia dan orang-orang yang berkaitan dengannya telah menerbitkan banyak tulisan para syekh Tarekat Rifa'iyah.
Cabang utama Tarekat Rifa'iyah di Irak telah dipimpin oleh keluarga al-Rawi. Beberapa tahun terakhir di bawah arahan Syekh Khasyi al-Rawi dari Baghdad, kaum Rifa'iyah Irak (seperti halnya di Suriah) menerbitkan sejumlah naskah Rifa'iyah lama.
Tarekat Rifa'iyah di Amerika Serikat
Di Negeri Paman Sam setidaknya terdapat tiga cabang Rifa'iyah. Syekh Taner Vargonen yang berbasis di California Utara, memiliki garis keturunan Qadiriyah-Rifa'iyah yang berasal dari Muhammad Anshari (wafat 1978) dari Istanbul.
Sejak tahun 1992, seorang Rifa'iyah Turki Mehmet Catalkaya (Serif Baba), telah mengawasi pendirian fewcedi Chapel Hill. North Carolina dan di Manhattan. Syekh dari Serif Baba adalah Burhan Efendi dari Izmir.
Cabang Rifa'iyah ketiga terletak di negara bagian New York. Dr.Muhyiddin Shakoor, seorang psikolog konseling, menulis keterlibatannya dengan dengan kaum Rifa'iyah dalam bukunya The Writting on the Water. Dia menghubungkan para syekh Tarekat Rifa'iyah cabang New York ini secara garis keturunan dengan kaum Rifa'iyah di Kosovo.
B. Ajaran Tarekat Rifa'iyah
Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa'iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu minggu pada awal Muharam.
Menurut Sayyid Mahmud Abul al-Faidl al-Manufi, Tarekat Rifa'iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu :
1. Tidak meminta sesuatu.
2. Tidak menolak.
3. Tidak menunggu.
Sementara menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan ma'rifat (puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf).
Dalam pandangan Syekh ar-Rifa'i, sebagaimana diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan. Asketisme adalah langkah pertama seseorang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah dan bertawakkal kepada Allah. Menurut Syekh ar-Rifa'i "Barang siapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar".
Mengenai ma'rifat Syekh ar-Rifa'i berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan terbukanya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan ma'rifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni,MA dalam tulisannya mengenai Syekh ar-Rifa'i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa'iyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema "Cinta Ilahi" yang bunyinya : "Andaikan malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan menggelora/kecewa. Tanyalah atau biarkanlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya, sementara dia dipercaya tanpa-Nya dan dia tidak terbunuh, kematian itu istirah baginya. Bahkan dia tidak dapat mati sampai bebas karenanya".
Syair di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Rifa'i dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal Allah, yaitu tingkat ma'rifat.
Wirid dan Amalan Tarekat Rifa'iyah
Ciri khas Tarekat Rifa'iyah terletak pada dzikirnya yang disebut dengan darwis melolong, karena dilakukan bersama-sama dengan diiringi suara gendang bertalu-talu. Dzikir itu dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, seperti berguling-guling dalam bara api, tetapi mereka tidak terbakar sedikit pun.
Menurut John L Esposito, sebagian kaum Rifa'iyah terkenal karena mengikuti praktik upacara, seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca. Hal ini menyebar bersama Tarekat Rifa'iyah sampai ke Kepulauan Melayu. Namun saat ini praktik seperti itu tidak lagi dilakukan, karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di Sumatera para pengikut Rifa'iyah ini memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan senjata tajam, diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu. Dalam bahasa Arab Dabus artinya "besi yang tajam".
Christian Snouck Hurgronye dalam De Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang sering dimainkan di Sumatera ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa'iyah.
Dabus ini juga berkembang di daerah Sunda, seperti diungkapkan C.Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda.
Di Sumatera Barat kesenian dabus ini dikenal dengan sebutan TABUIK, tepatnya di daerah Padang Pariaman.
Dalam Encyklopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa'iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.
----------------------------------------------------------
(Materi Akidah Akhlak Kelas XII Madrasah Aliyah)
Dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar