A. ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
Ilmu Kalam lahir setelah Rasulullah Saw. wafat, Kelahirannya berkaitan erat dengan masalah yang dihadapi umat Islam, yaitu tentang hakikat iman, status orang yang berdosa besar serta masalah takdir dan kebebasan.
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa perpecahan di kalangan umat Islam sampai menjadi 73 golongan, satu dari diantaranya ((مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِىْ yang selamat dari siksa api neraka. Disebutnya 73 golongan bukan jumlah yang sebenarnya, tapi kebiasaan orang Arab untuk menggambarkan jumlah yang BETAPA BANYAK-nya.
Ilmu Kalam lahir setelah Rasulullah Saw. wafat, Kelahirannya berkaitan erat dengan masalah yang dihadapi umat Islam, yaitu tentang hakikat iman, status orang yang berdosa besar serta masalah takdir dan kebebasan.
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa perpecahan di kalangan umat Islam sampai menjadi 73 golongan, satu dari diantaranya ((مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِىْ yang selamat dari siksa api neraka. Disebutnya 73 golongan bukan jumlah yang sebenarnya, tapi kebiasaan orang Arab untuk menggambarkan jumlah yang BETAPA BANYAK-nya.
Syi’ah adalah kelompok yang menyanjung Ali bin Abi
Thalib dan keturunannya secara berlebihan, sehingga kelompok ini meyakini Ali
bin Abi Thalib dan keturunannya sebagai pemimpin Islam setelah Nabi Muhammad
Saw. wafat. Sebagian penulis sejarah Islam mengatakan Syi’ah lahir waktu
perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Namun pendapat yang
paling populer mengatakan bahwa lahirnya Syi’ah setelah gagalnya perundingan
antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Siffin, yang
berakhir dengan tahkim atau arbitrasi.
Akibat kegagalan perundingan itu pasukan Ali
memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali yang kemudian
disebut dengan KAUM KHAWARIJ. Sedangkan sebagian besar pasukan yang tetap setia
dengan kepemimpinan Ali disebut dengan KAUM SYI’AH (pengikut Ali).
Golongan Syi’ah juga terdiri dari beberapa sekte
aliran, yaitu :
- Sekte Kaisaniyah=> Yang mempercayai Muhammad bin Hanafiah sebagai pemimpin setelah Husein bin Ali wafat. Nama Kaisaniyah diambil dari nama seorang bekas budak Ali yang bernama Kaisan.
- Sekte Zaidiyah=> Mempercayai Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin sebagai pemimpin setelah wafatnya Husein bin Ali. Dalam sekte ini seseorang dapat diangkat sebagai imam apabila memenuhi 5 (lima) kriteria : 1). Keturunan Fatimah binti Muhammad Saw. 2). Berpengetahuan luas dalam agama. 3). Hidupnya hanya untuk beribadah. 4). Berjihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata. 5). Berani
- Sekte Imamiyah=> Meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw. telah menunjuk Ali bin Abi Thalib secara jelas dan tegas menjadi pemimpin atau iman sebagai pengganti beliau. Karena itu golongan ini tidak mengakui ke-Khalifah-an Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Sekte ini kemudian juga pecah menjadi beberapa golongan, pecahan yang terbesar adalah golongan Isna Asy’ariyah atau Syi’ah Dua Belas dan yang terbesar kedua golongan Ismailiyah.
2. ALIRAN KHAWARIJ
Khawarij artinya orang-orang yang keluar dari
kelompok Ali bin Abi Thalib. Golongan ini menganggap diri mereka sebagai
orang-orang yang keluar rumah dan semata-mata untuk berjuang fi sabilillah. Alasan
mendasar mereka keluar dari kelompok Ali adalah TIDAK SETUJU TERHADAP
ARBITRASI ATAU TAHKIM YANG DITEMPUH ALI BIN ABI THALIB DALAM MENYELESAIKAN
MASALAH DENGAN MU’AWIYAH. Meskipun munculnya
dari pertikaian politik, namun dalam perkembangannya golongan ini banyak
membicarakan masalah teologis.
Khawarij berpendapat bahwa penyelesaian masalah Ali
dan Mu’awiyah dengan sistem arbitrasi atau tahkim bertentangan dengan Surah
al-Maidah ayat 44 :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ
Artiny : Barang siapa tidak memutuskan (perkara)
dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.
Berdasarkan ayat ini Ali, Mu’awiyah dan orang-orang
yang menyetujui tahkim telah menjadi kafir, karena mereka tidak merujuk kepada
al-Qur’an dalam memutuskan perkara.
Golongan Khawarij
ini juga terpecah kepada beberapa Sekte, yaitu :
- al-Muhakkimah
- al-Azariqah
- an-Najdat
- al-Ajaridah
- asy-Syufriyah
- al-Ibadiyah
3. ALIRAN MURJI’AH
Disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya
mereka menunda persoalan konflik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dan Kaum Khawarij pada hari perhitungan kelak, karena itu mereka tidak
mau mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang kafir di
antara ketiga kelompok yang bertikai. Dalam perkembangannya aliran ini juga
tidak dapat terlepas dari persoalan teologis yang muncul pada waktu itu, di
mana ketika itu terjadi perdebatan tentang hukum orang berdosa besar.
Kaum Murji’ah berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar tidak bisa dikatakan kafir selama dia tetap mengakui Allah sebagai Tuhan
dan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul. Sementara Kaum Khawarij berpendapat
sebaliknya. Kelompok ini juga terpecah menjadi dua golongan,
yaitu :
- Kaum Moderat=> tokoh-tokohnya adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
- Kaum Ekstrim=> terbagi pula kepada beberapa kelompok, di antaranya al-Jahamiyah, as-Salihiyah, al-Yunusiyah, al-Ubaidiyah, al-Gailaniyah, as-Saubariyah, al-Marisiyah dan al-Karamiyah.
4. ALIRAN JABARIYAH
Menurut bahasa Jabariyah berasal dari kata “jabara”
yang berarti baik, memperbaiki, meluruskan dan membelanya, serta menguasai dan
memaksa. Menurut istilah Jabariyah adalah suatu aliran atau paham yang
berpendapat bahwa manusia di dalam perbuatannya serba terpaksa (majbur).
Dalam al-Mu’jam al-Wasith, Jabariyyah adalah mazhab
yang berpendapat bahwa segala yang terjadi pada manusia telah ditetapkan/ditakdirkan
sejak zaman azali, manusia hanya menjalankan dan tidak mempunyai hak memilih. Dalam
ungkapan lain, manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan dalam
menentukan perbuatan dan kehendak sendiri. Istilah Jabar dapat diartikan
pula menolak adanya pebuatan manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada
allah. Berdasarkan pengertian ini, maka Jabariyah terdiri dari dua bentuk,
Jabariyah murni dan Jabariyah pertengahan yang moderat, yang mengakui adanya
perbuatan dari manusia.
Kaum
Jabariyah diduga lebih dahulu muncul dibandingkan dengan kaum Qadariyah, karena
Jabariyah sudah dapat diketahui secara jelas ketika Mu’awiyah Ibn Ali Sofyan
(621 H) menulis surat kepada al Mughirah ibn Syu’bah (salah seorang sahabat
Nabi) tentang doa yang selalu dibaca Nabi, lalu Syu’bah menjawab bahwa doa yang
selalu dibaca setiap selesai shalat adalah yang artinya sebagai berikut :
“Tiada
Tuhan selain Allah, tiada sekutu baginya, Ya Allah tidak ada sesuatu yang dapat
menahan apa-apa yang Engkau telah berikan, tidak berguna kesungguhan semuanya
bersumber dariMu ” (H.R Bukahri)
Dilihat
dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’,
artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Paham
keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia sangat dominan dalam
aliran ini, karena segala
perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh Tuhan.
Ada
dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar aliran ini,
yaitu Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq,
dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham ini disebarluaskan
oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi
terkenal dengan nama Jahmiyah.
Jahm
Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di merdekakan
dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai
seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah diterima oleh orang
lain. Jahm ibn Shafwan juga mempunyai hubungan kerja dengan al Harits ibn
Suriah yakni sebagai sekretaris yang menentang kepemimpinan Bani Umayyah di
Khurasan. Perlawanan al
Harits dapat dipatahkan, sehingga ia sendiri dijatuhi hukuman mati pada tahun
128 H/ 745 M. Sementara Jahm diperlakukan sebagai tawanan yang pada akhirnya
juga dibunuh. Pembunuhan pada dirinya bukan karena motif mengembangkan paham
Jabariyah, tetapi karena keterikatannya dangan pemberontakan melawan
pemerintahan Bani Umayyah bersama dengan al Harits. Pembunuhan Jahm Ibn Shafwan kurang
lebih dua tahun setelah kematian al Harits yakni pada 747 M, yang pada saat itu
pemerintah Bani Umayyah dipimpin oleh Khalifah Marwan bin Muhammad (744 – 750
M).
Sebagai
aliran, paham Jabariyah
bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak
mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan
untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada
hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap
mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang
dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya
perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Para penganut mazhab ini ada yang
ekstrim, ada pula yang bersikap moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang
ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain adalah Husain bin Najjar, Dhirar
bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan
Qadariyah. Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan
oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa
ayat dalam al Qur’an, seperti QS. Al Anfal yang terjemahnya :
“Tidak ada bencana yang menimpa
bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud”
Jika
seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada kreatifitas
dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga
tetap terbelakang.
5. ALIRAN QADARIYAH
secara etomologi Qadariyah , berasal dari
bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna KEMAMPUAN dan KEKUATAN. secara
termenologi adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia
tidak diintervensi oleh Allah.
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan
Mazhab
Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini banyak
persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama tentang,
misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak
campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu
terjadi karena qada dan qadar Allah swt.
Tokoh
utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi, kedua tokoh
inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada
Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi,
Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan
semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang
tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula
(pembantu) Usman bin Affan.
Kedua
tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani terbunuh dalam pertempuran
melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung
Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan
Ghailan al Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik
(105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman
bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah
yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham
Qadariyah di Damaskus sehingga dapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis
(717-720 M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya
hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M).
Ditinjau
dari segi politik, keberadaan Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani
Umayyah sebab dengan paham yang diseberluaskannya dapat membangkitkan
pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia mewujudkan
perbuatannya dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan
dinasti Bani Umayyah yang negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat.
Berbeda dengan paham Murji’ah yang menguntungkan pemerintah, karena kehadiran Qadariyah merupakan
isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini
selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap
berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam paham Mu’tazilah.
Menurut
Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, ia melakukan
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan itu adalah perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Dalam paham ini manusia merdeka dalam segala
tingkah lakunya, berdasarkan kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah yang
menentukan nasibnya, bukan Tuhan yang menentukan, pandangan
tersebut didasarkan pada beberapa ayat al Qur’an, antara lain QS. Al Ra’d ayat
11 :
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya
: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu bangsa,
sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka”
Paham
ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin
maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
6. ALIRAN MUKTAZILAH
Mu’tazilah
secara etimologis bermakna “orang-orang yang memisahkan diri”.
Muncul waktu terjadinya pertentangan antara Khawarij dan Murji’ah tentang
persoalan ORANG MUKMIN YANG BERDOSA NESAR.
Kelompok ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada
abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H.
Wasil mengatakan bahwa ORANG MUKMIN YANG BERDOSA
BESAR MENEMPATI POSISI ANTARA MUKMIN DAN KAFIR, tegasnya TIDAK MUKMIN dan BUKAN
KAFIR.
Setelah mengeluarkan pendapat ini Wasil pun keluar
dari perguruan Hasan al-Bashri dan membentuk kelompok sendiri, yang kemudian
dikenal dengan KAUM MUKTAZILLAH.
Pada awalnya aliran ini kurang mendapat simpati
dari umat Islam dengan alasan :
- Ajarannya yang bersifat
rasional dan filosofis sulit dipahami.
- Ajarannya dinilai tidak
sesuai dgn sunnah Rasulullah Saw.dan sahabat.
Pada masa Khalifah al-Makmun dari Daulah Abbasiyah
aliran ini baru memperoleh dukungan
Aliran Muktazillah mempunyai 5 (lima) doktrin yang dikenal dengan al-usul al-khamsah, yaitu :
Aliran Muktazillah mempunyai 5 (lima) doktrin yang dikenal dengan al-usul al-khamsah, yaitu :
- at-Tauhid=> Meyakini sepenuhnya hanya Allah Yang Maha Tunggal. Konsep tauhid menurut mereka adalah PALING MURNI, sehingga mereka senang disebut dengan Ahlut-Tauhid (pembela tauhid) atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
- al-’Adl=> Memahami bahwa Allah wajib berlaku adil dan mustahil berlaku zalim kepada hamba-Nya, Tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya : tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan Nabi dan Rasul serta memberi daya kepada manusia untuk dapat mewujudkan keinginannya.
- al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)=> Tuhan wajib menepati janji-Nya untuk menempatkan orang mukmin dalam sorga dan menempatkan orang kafir serta orang yang berdosa besar dalam neraka.
- al-Manzilah bain al-Manzilatain (antara dua tempat)=> Orang Islam yang berdosa besar tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, maka dia dalam nerasa selamanya, tetapi siksanya lebih ringan dari siksa orang kafir.
- Amar ma’ruf nahi munkar=> Setiap muslim wajib menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain, bagi yang menentang dihukum.
Nama aliran ini dinisbahkan kepada
pendirinya, Abu Hasan al-Asy’ari yang muncul atas reaksi terhadap paham
Muktazilah yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan. Setelah keluar dari Muktazilah Abu Hasan
al-Asy’ari merumuskan pokok-pokok ajarannya yang berjumlah tujuh pokok, yaitu :
- Tentang Sifat Allah=> Allah mempunyai sifat, seperti al-’alim, al-qudrah, al-hayah, as-sama’ dan al-bashar
- Tentang Kedudukan al-Qur’an=> Qur’an adalah Firman Allah, bukan makhluk dalam arti baru dan diciptakan, karenanya Qur’an adalah Qadim.
- Tentang Melihat Allah di Akhirat=> Allah dapat dilihat di akhirat, karena Allah mempunyai wujud.
- Tentang Perbuatan Manusia=> Perbuatan-perbuatan manusia itu diciptakan Allah.
- Tentang Antropomorfisme=> Allah mempunyai mata, muka dan tangan, ini disebutkan dlm surat al-Qamar ayat 14 dan ar-Rahman ayat 27, akan tetapi bagaimana bentuknya tidak dapat diketahui.
- Tentang Dosa Besar=> Orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin, selama masih beriman kepada Allah.
- Tentang Keadilan Allah=> Allah pencipta alam semesta, memiliki kehendak mutlak atas ciptaan-Nya.
Ketujuh pemikiran Asy’ariyah ini dapat
diterima oleh kebanyakan umat Islam, karena sederhana dan tidak filosofis.
8. ALIRAN MATURIDIYAH
Aliran ini didirikan oleh Muhammad bin
Muhammad Abu Masur, dia dilahirkan di Maturid, sebuah kota di Samarqand
(Uzbekistan). Dalam soal kepercayaan, al-Maturidy
mendasarkan pokok pikirannya kepada Imam Abu Hanifah, banyak ulasan-ulasannya
terhadap kitab al-fiqh al-akbar dan al-fiqh al-Absath yang dikarang oleh Imam Abu
Hanifah, sehingga al-Maturidy juga banyak meninggalkan karangan dan sebagian
besar di bidang Ilmu Tauhid.
Maturidiyah lebih mendekati paham Muktazilah dan
dalam membahas kalam, Maturidiyah mengemukakan tiga dalil :
- Dalil perlawanan arad=> Alam ini tidak mungkin qadim, karena di dalamnya terdapat keadaan yang berlawanan, seperti diam dan gerak, baik dan buruk. Keadaan tersebut baru dan sesuatu yang tidak terlepas dari yang baru, maka alam ini baru pula.
- Dalil terbatas dan tidak terbatas=> Alam ini terbatas, yang terbatas itu adalah baru. Alam ini baru dan ada batas dari segi bendanya. Benda bergerak dan waktu yang selalu bertalian. Sesuatu yang ada batasnya adalah baru.
- Dalil kausalitas=> Alam ini tidak bisa mengadakan dirinya sendiri atau memperbaiki dirinya jika mengalami kerusakan. Kalau alam ini ada dengan sendirinya, tentu keadaannya tetap satu, namum alam ini selalu berubah. Dengan demikian berarti ada penyebab perubahannya.
Maturidy sependapat dengan Imam Abu Hanifah dalam
menentukan aliran Muktazilah dan mengatakan bahwa kekuasaan manusia bisa
digunakan dalam dua hal yang berlawanan, seperti ketaatan, manusia bebas
menggunakan kekuatannya. Manusia dijadikan oleh Tuhan, maka perbuatannya
juga dijadikan oleh Tuhan. Karena itu manusia yang mengerjakan perbuatan
maksiat, diam, bergerak atau pun taat, sebenarnya mereka sendiri yang
mengerjakannya, tetapi dijadikan oleh Tuhan.
Maturidy sependapat
dengan aliran Muktazilah tentang adanya kekuasaan pada manusia untuk dua hal
yang berlawanan, sedangkan aliran Asy’ariyah menetapkan adanya dua kekuasaan,
untuk ketaatan dan untuk kedurhakaan. Dengan pandangan ini Maturidy bermaksud
menguatkan sistem yang dipegang oleh aliran Muktazilah, yaitu pemberian taklif
dari Tuhan kepada manusia dengan kesanggupannya.
9. TEOLOGI TRANSFORMATIF
10. TEOLOGI PEMBEBASAN
B. PERILAKU ORANG BERALIRAN KALAM
C. MENGHARGAI PERBEDAAN PAHAM
---------------------------------------------------------
(Materi Akidah Akhlak Kelas XI Madrasah Aliyah)
Dikutip dari berbagai sumber
9. TEOLOGI TRANSFORMATIF
10. TEOLOGI PEMBEBASAN
B. PERILAKU ORANG BERALIRAN KALAM
C. MENGHARGAI PERBEDAAN PAHAM
---------------------------------------------------------
(Materi Akidah Akhlak Kelas XI Madrasah Aliyah)
Dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar