Jumat, 04 November 2011

Aliran dalam Ilmu Kalam

A. ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM 


Ilmu Kalam lahir setelah Rasulullah Saw. wafat,  Kelahirannya berkaitan erat dengan masalah yang dihadapi umat Islam, yaitu tentang hakikat iman, status orang yang berdosa besar serta masalah takdir dan kebebasan.


Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa perpecahan di kalangan umat Islam sampai menjadi 73 golongan, satu dari diantaranya ((مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِىْ yang selamat dari siksa api neraka. Disebutnya 73 golongan bukan jumlah yang sebenarnya, tapi kebiasaan orang Arab untuk menggambarkan jumlah yang BETAPA BANYAK-nya.

1.  ALIRAN SYI’AH

Syi’ah adalah kelompok yang menyanjung Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara berlebihan, sehingga kelompok ini meyakini Ali bin Abi Thalib dan keturunannya sebagai pemimpin Islam setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Sebagian penulis sejarah Islam mengatakan Syi’ah lahir waktu perebutan kekuasaan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Namun pendapat yang paling populer mengatakan bahwa lahirnya Syi’ah setelah gagalnya perundingan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Siffin, yang berakhir dengan tahkim atau arbitrasi.
Akibat kegagalan perundingan itu pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali yang kemudian disebut dengan KAUM KHAWARIJ. Sedangkan sebagian besar pasukan yang tetap setia dengan kepemimpinan Ali disebut dengan KAUM SYI’AH (pengikut Ali).
Golongan Syi’ah juga terdiri dari beberapa sekte aliran, yaitu :
  • Sekte Kaisaniyah=> Yang mempercayai Muhammad bin Hanafiah sebagai pemimpin setelah Husein bin Ali wafat. Nama Kaisaniyah diambil dari nama seorang bekas budak Ali yang bernama Kaisan.
  • Sekte Zaidiyah=> Mempercayai Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin sebagai pemimpin setelah wafatnya Husein bin Ali. Dalam sekte ini seseorang dapat diangkat sebagai imam apabila memenuhi 5 (lima) kriteria : 1). Keturunan Fatimah binti Muhammad Saw. 2). Berpengetahuan luas dalam agama. 3). Hidupnya hanya untuk beribadah. 4). Berjihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata. 5). Berani
  • Sekte Imamiyah=> Meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw. telah menunjuk Ali bin Abi Thalib secara jelas dan tegas menjadi pemimpin atau iman sebagai pengganti beliau. Karena itu golongan ini tidak mengakui ke-Khalifah-an Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Sekte ini kemudian juga pecah menjadi beberapa golongan, pecahan yang terbesar adalah golongan Isna Asy’ariyah atau Syi’ah Dua Belas dan yang terbesar kedua golongan Ismailiyah.
2. ALIRAN KHAWARIJ

Khawarij artinya orang-orang yang keluar dari kelompok Ali bin Abi Thalib. Golongan ini menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang keluar rumah dan semata-mata untuk berjuang fi sabilillah. Alasan mendasar mereka keluar dari kelompok Ali adalah TIDAK SETUJU TERHADAP ARBITRASI ATAU TAHKIM YANG DITEMPUH ALI BIN ABI THALIB DALAM MENYELESAIKAN MASALAH DENGAN MU’AWIYAH.  Meskipun munculnya dari pertikaian politik, namun dalam perkembangannya golongan ini banyak membicarakan masalah teologis.

Khawarij berpendapat bahwa penyelesaian masalah Ali dan Mu’awiyah dengan sistem arbitrasi atau tahkim bertentangan dengan Surah al-Maidah ayat 44 :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artiny : Barang siapa tidak memutuskan (perkara) dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.

Berdasarkan ayat ini Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menyetujui tahkim telah menjadi kafir, karena mereka tidak merujuk kepada al-Qur’an dalam memutuskan perkara.

Golongan Khawarij ini juga terpecah kepada beberapa Sekte, yaitu :
- al-Muhakkimah
- al-Azariqah
- an-Najdat
- al-Ajaridah
- asy-Syufriyah
- al-Ibadiyah

3. ALIRAN MURJI’AH

Disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda persoalan konflik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Kaum Khawarij pada hari perhitungan kelak, karena itu mereka tidak mau mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang kafir di antara ketiga kelompok yang bertikai. Dalam perkembangannya aliran ini juga tidak dapat terlepas dari persoalan teologis yang muncul pada waktu itu, di mana ketika itu terjadi perdebatan tentang hukum orang berdosa besar.

Kaum Murji’ah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak bisa dikatakan kafir selama dia tetap mengakui Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul. Sementara Kaum Khawarij berpendapat sebaliknya. Kelompok ini juga terpecah menjadi dua golongan, yaitu :
  • Kaum Moderat=> tokoh-tokohnya adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
  • Kaum Ekstrim=> terbagi pula kepada beberapa kelompok, di antaranya al-Jahamiyah, as-Salihiyah, al-Yunusiyah, al-Ubaidiyah, al-Gailaniyah, as-Saubariyah, al-Marisiyah dan al-Karamiyah.
4. ALIRAN JABARIYAH

Menurut bahasa Jabariyah berasal dari kata “jabara” yang berarti baik, memperbaiki, meluruskan dan membelanya, serta menguasai dan memaksa. Menurut istilah Jabariyah adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa manusia di dalam perbuatannya serba terpaksa (majbur). 

Dalam al-Mu’jam al-Wasith, Jabariyyah adalah mazhab yang berpendapat bahwa segala yang terjadi pada manusia telah ditetapkan/ditakdirkan sejak zaman azali, manusia hanya menjalankan dan tidak mempunyai hak memilih. Dalam ungkapan lain, manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan dalam menentukan perbuatan dan kehendak sendiri. Istilah Jabar dapat diartikan pula menolak adanya pebuatan manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada allah. Berdasarkan pengertian ini, maka Jabariyah terdiri dari dua bentuk, Jabariyah murni dan Jabariyah pertengahan yang moderat, yang mengakui adanya perbuatan dari manusia. 

Kaum Jabariyah diduga lebih dahulu muncul dibandingkan dengan kaum Qadariyah, karena Jabariyah sudah dapat diketahui secara jelas ketika Mu’awiyah Ibn Ali Sofyan (621 H) menulis surat kepada al Mughirah ibn Syu’bah (salah seorang sahabat Nabi) tentang doa yang selalu dibaca Nabi, lalu Syu’bah menjawab bahwa doa yang selalu dibaca setiap selesai shalat adalah yang artinya sebagai berikut :
Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu baginya, Ya Allah tidak ada sesuatu yang dapat menahan apa-apa yang Engkau telah berikan, tidak berguna kesungguhan semuanya bersumber dariMu ” (H.R Bukahri)

Dilihat dari segi pendekatan kebahasaan, Jabariyah berarti ‘keterpaksaan’, artinya suatu paham bahwa manusia tidak dapat berikhtiar. Paham keterpaksaan melaksanakan sesuatu bagi manusia sangat dominan dalam aliran ini, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan semula oleh Tuhan.

Ada dua tokoh di dalam paham Jabariyah sebagai pencetus dan penyebar aliran ini, yaitu  Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq, dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah. Selanjutnya paham ini disebarluaskan oleh Jahm ibn Shafwan yang dalam perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan nama Jahmiyah.

Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang budak yang telah di merdekakan dari Khurasan dan bermukim di Kufah (Iraq). Jahm ibn Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga pendapatnya mudah diterima oleh orang lain. Jahm ibn Shafwan juga mempunyai hubungan kerja dengan al Harits ibn Suriah yakni sebagai sekretaris yang menentang kepemimpinan Bani Umayyah di Khurasan. Perlawanan al Harits dapat dipatahkan, sehingga ia sendiri dijatuhi hukuman mati pada tahun 128 H/ 745 M. Sementara Jahm diperlakukan sebagai tawanan yang pada akhirnya juga dibunuh. Pembunuhan pada dirinya bukan karena motif mengembangkan paham Jabariyah, tetapi karena keterikatannya dangan pemberontakan melawan pemerintahan Bani Umayyah bersama dengan al Harits. Pembunuhan Jahm Ibn Shafwan kurang lebih dua tahun setelah kematian al Harits yakni pada 747 M, yang pada saat itu pemerintah Bani Umayyah dipimpin oleh Khalifah Marwan bin Muhammad (744 – 750 M).

Sebagai aliran, paham Jabariyah bertolak belakang dangan paham Qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.

Para penganut mazhab ini ada yang ekstrim, ada pula yang bersikap moderat. Jahm bin Shafwan termasuk orang yang ekstrim, sedangkan yang moderat antara lain adalah Husain bin Najjar, Dhirar bin Amru, dan Hafaz al Fardi yang mengambil jalan tengah antara Jabariyah dan Qadariyah. Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam al Qur’an, seperti QS. Al Anfal yang terjemahnya :

Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kamu wujud 

Jika seseorang menganut paham ini, akan menjadikan ia pasrah, tidak ada kreatifitas dan semangat untuk mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat, sehingga tetap terbelakang. 

5. ALIRAN QADARIYAH

secara etomologi Qadariyah , berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna KEMAMPUAN dan KEKUATAN. secara termenologi adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah.

Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.  Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya.  Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan

Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Ajaran-ajaran mazhab ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama tentang, misalnya, manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya, Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt.

Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al Juhani dan Ghailan al Dimasyqi, kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad al Juhani berguru pada Hasan al Basri, sebagaimana Washil bin Atha’; tokoh pendiri Mu’tazilah, Jadi, Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula (pembantu) Usman bin Affan.

Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan al Hajjaj tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung Gubernur Sajistan, Abdurrahman al Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke-sepuluh. Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham Qadariyah di Damaskus sehingga dapat tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M).

Ditinjau dari segi politik, keberadaan Qadariyah merupakan tantangan bagi dinasti Bani Umayyah sebab dengan paham yang diseberluaskannya dapat membangkitkan pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan bertanggung jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti Bani Umayyah yang negatif akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda dengan paham Murji’ah yang menguntungkan pemerintah, karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang. Dalam perkembangannya paham ini tertampung dalam paham Mu’tazilah.

Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, ia melakukan perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan itu adalah perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Dalam paham ini manusia merdeka dalam segala tingkah lakunya, berdasarkan kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah yang menentukan nasibnya, bukan Tuhan yang menentukan,   pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat al Qur’an, antara lain QS. Al Ra’d ayat 11 :

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka
Paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

6. ALIRAN MUKTAZILAH

Mu’tazilah secara etimologis bermakna  orang-orang yang memisahkan diri”. Muncul waktu terjadinya pertentangan antara Khawarij dan Murji’ah tentang persoalan ORANG MUKMIN YANG BERDOSA NESAR.

Kelompok ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H.

Wasil mengatakan bahwa ORANG MUKMIN YANG BERDOSA BESAR MENEMPATI POSISI ANTARA MUKMIN DAN KAFIR, tegasnya TIDAK MUKMIN dan BUKAN KAFIR.
Setelah mengeluarkan pendapat ini Wasil pun keluar dari perguruan Hasan al-Bashri dan membentuk kelompok sendiri, yang kemudian dikenal dengan KAUM MUKTAZILLAH.
Pada awalnya aliran ini kurang mendapat simpati dari umat Islam dengan alasan :
- Ajarannya yang bersifat rasional dan filosofis sulit dipahami.
- Ajarannya dinilai tidak sesuai dgn sunnah Rasulullah Saw.dan sahabat.
Pada masa Khalifah al-Makmun dari Daulah Abbasiyah aliran ini baru memperoleh dukungan


Aliran Muktazillah mempunyai 5 (lima) doktrin yang dikenal dengan al-usul al-khamsah, yaitu :
  1. at-Tauhid=> Meyakini sepenuhnya hanya Allah Yang Maha Tunggal. Konsep tauhid menurut mereka adalah PALING MURNI, sehingga mereka senang disebut dengan Ahlut-Tauhid (pembela tauhid) atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
  2. al-’Adl=> Memahami bahwa Allah wajib berlaku adil dan mustahil berlaku zalim kepada hamba-Nya, Tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya : tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan Nabi dan Rasul serta memberi daya kepada manusia untuk dapat mewujudkan keinginannya.
  3.  al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)=> Tuhan wajib menepati janji-Nya untuk menempatkan orang mukmin dalam sorga dan menempatkan orang kafir serta orang yang berdosa besar dalam neraka.
  4. al-Manzilah bain al-Manzilatain (antara dua tempat)=> Orang Islam yang berdosa besar tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, maka dia dalam nerasa selamanya, tetapi siksanya lebih ringan dari siksa orang kafir.
  5. Amar ma’ruf nahi munkar=> Setiap muslim wajib menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain, bagi yang menentang dihukum.
7. ALIRAN ASY’ARIYAH

Nama aliran ini dinisbahkan kepada pendirinya, Abu Hasan al-Asy’ari yang muncul atas reaksi terhadap paham Muktazilah yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan. Setelah keluar dari Muktazilah Abu Hasan al-Asy’ari merumuskan pokok-pokok ajarannya yang berjumlah tujuh pokok, yaitu :
  1. Tentang Sifat Allah=> Allah mempunyai sifat, seperti al-’alim, al-qudrah, al-hayah, as-sama’ dan al-bashar
  2. Tentang Kedudukan al-Qur’an=> Qur’an adalah Firman Allah, bukan makhluk dalam arti baru dan diciptakan, karenanya Qur’an adalah Qadim.
  3. Tentang Melihat Allah di Akhirat=>  Allah dapat dilihat di akhirat, karena Allah mempunyai wujud.
  4. Tentang Perbuatan Manusia=> Perbuatan-perbuatan manusia itu diciptakan Allah.
  5. Tentang Antropomorfisme=> Allah mempunyai  mata, muka dan tangan, ini disebutkan dlm surat al-Qamar ayat 14 dan ar-Rahman ayat 27, akan tetapi bagaimana bentuknya tidak dapat diketahui.
  6. Tentang  Dosa Besar=> Orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin, selama masih beriman kepada Allah.
  7. Tentang Keadilan Allah=> Allah pencipta alam semesta, memiliki kehendak mutlak atas ciptaan-Nya.
Ketujuh pemikiran Asy’ariyah ini dapat diterima oleh kebanyakan umat Islam, karena sederhana dan tidak filosofis.

8. ALIRAN MATURIDIYAH

Aliran ini didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Abu Masur, dia dilahirkan di Maturid, sebuah kota di Samarqand (Uzbekistan). Dalam soal kepercayaan, al-Maturidy mendasarkan pokok pikirannya kepada Imam Abu Hanifah, banyak ulasan-ulasannya terhadap kitab al-fiqh al-akbar dan al-fiqh al-Absath yang dikarang oleh Imam Abu Hanifah, sehingga al-Maturidy juga banyak meninggalkan karangan dan sebagian besar di bidang Ilmu Tauhid.

Maturidiyah lebih mendekati paham Muktazilah dan dalam membahas kalam, Maturidiyah mengemukakan tiga dalil :
  1. Dalil perlawanan arad=> Alam ini tidak mungkin qadim, karena di dalamnya terdapat keadaan yang berlawanan, seperti diam dan gerak, baik dan buruk. Keadaan tersebut baru dan sesuatu yang tidak terlepas dari yang baru, maka alam ini baru pula.
  2. Dalil terbatas dan tidak terbatas=> Alam ini terbatas, yang terbatas itu adalah baru. Alam ini baru dan ada batas dari segi bendanya. Benda bergerak dan waktu yang selalu bertalian. Sesuatu yang ada batasnya adalah baru.
  3. Dalil kausalitas=> Alam ini tidak bisa mengadakan dirinya sendiri atau memperbaiki dirinya jika mengalami kerusakan. Kalau alam ini ada dengan sendirinya, tentu keadaannya tetap satu, namum alam ini selalu berubah. Dengan demikian berarti ada penyebab perubahannya.
Maturidy sependapat dengan Imam Abu Hanifah dalam menentukan aliran Muktazilah dan mengatakan bahwa kekuasaan manusia bisa digunakan dalam dua hal yang berlawanan, seperti ketaatan, manusia bebas menggunakan kekuatannya. Manusia dijadikan oleh Tuhan, maka perbuatannya juga dijadikan oleh Tuhan. Karena itu manusia yang mengerjakan perbuatan maksiat, diam, bergerak atau pun taat, sebenarnya mereka sendiri yang mengerjakannya, tetapi dijadikan oleh Tuhan.

Maturidy sependapat dengan aliran Muktazilah tentang adanya kekuasaan pada manusia untuk dua hal yang berlawanan, sedangkan aliran Asy’ariyah menetapkan adanya dua kekuasaan, untuk ketaatan dan untuk kedurhakaan. Dengan pandangan ini Maturidy bermaksud menguatkan sistem yang dipegang oleh aliran Muktazilah, yaitu pemberian taklif dari Tuhan kepada manusia dengan kesanggupannya. 


9. TEOLOGI TRANSFORMATIF


10. TEOLOGI PEMBEBASAN


B. PERILAKU ORANG BERALIRAN KALAM


C. MENGHARGAI PERBEDAAN PAHAM






---------------------------------------------------------
(Materi Akidah Akhlak Kelas XI Madrasah Aliyah)
Dikutip dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar