A. PENGERTIAN ILMU KALAM
Secara Etimologi kalam berarti "pembicaraan", yaitu pembicaraan yang bernalar dengan
menggunakan logika. Jadi ciri-ciri utama Ilmu Kalam itu adalah rasionalitas dan
logis. Kata kalam pada awalnya memang dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata
"logos" yang diadopsi dari bahaa Yunani yang berarti "pembicaraan". Dari kata
inilah muncul istilah logika dan logis yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dengan istilah mantiq, sehingga ilmu logika (khususnya logika
formal/sillogisme) dinamakan mantiq. Karena diadopsi dari bahasa Yunani, maka
kerangka pemikiran Yunani memberikan kontribusi yang besar untuk memperkaya
Ilmu Kalam.
Secara terminologi KALAM adalah :
Syekh Muhammad Abduh
Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang Wujud Allah, sifat-sifat
wajib yang ada bagi-Nya, sifat-sifat jaiz yang disifatkan bagi-Nya dan
sifat-sifat yang tidak ada bagi-Nya. Selain itu ilmu kalam juga membahas
tentang rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib
pada dirinya, hal-hal jaiz yang dihubungkan kepada diri mereka dan hal-hal
terlarang yang dihubungkan kepada diri mereka .
Ibnu Khaldun
Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan untuk mempertahankan
kepercayan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyelewengkan kepercayaan salaf
dan ahli sunah.
B. FUNGSI ILMU KALAM
Sebagian ketentuan agama tidak mungkin diyakini, kecuali melalui akal,
seperti :
1.
Mengetahui tentang adanya
Allah dan kodrat-Nya untuk mengutus para rasul.
2.
Mengetahui tentang ilmu-Nya
mengenai apa yang diwahyukan-Nya kepada para rasul.
3.
Mengetahui tentang iradat-Nya
yg mutlak untuk menentukan siapa yang akan menjadi rasul.
4.
Mengetahui tentang segala
sesuatu yang bersangkut paut dengan pengertian kerasulan,
termasuk membenarkan adanya rasul
Agama datang untuk mengatasi paham dan pengertian manusia yang berakal,
Mustahil jika agama membawa sesuatu yang bertentangan dengan akal dan logika. Al-Qur’an telah mempertemukan akal dengan agama yang merupakan kitab
Allah terakhir sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Untuk menumbuhkan
tauhid perlu dihadirkan dalil akal sebagai argumen yang mudah dicerna oleh akal
manusia.
Ilmu tauhid sedikit sekali mendasarkan pendapatnya kepada Al-Qur’an dan
Hadits, kecuali ketetapan pokoknya. Kemudian orang berpindah kepada pembicaraan
masalah yang lebih menyerupai furuk (cabang), walaupun cabang itu dipandang
sebagai pokok bagi apa-apa yang datang kemudian. Kehadiran Ilmu Kalam sebagai tawaran pemikiran ke-Tuhan-an yang
memberikan dalil tentang pokok agama, lebih menyerupai logika sebagaimana ahli
pikir dalam menjelaskan hujjah pendiriannya
C. HUBUNGAN ILMU KALAM DENGAN ILMU LAINNYA
Ilmu Kalam dikenal sebagai Ilmu yang berdiri sendiri, yaitu pada masa
Khalifah Al-Ma’mun (813-833) dari Bani Abasiyah. Dinamakan dengan Ilmu Kalam karena :
1. Pembicaraan yang terpenting
pada abad-abad permulaan hijriah adalah “apakah kalam Allah (al-Qur’an) itu
qadim atau hadits”. Karena itu Ilmu Kalam adalah salah satu bagian terpenting
dari keseluruhannya.
2. Dasar-dasar Ilmu Kalam
adalah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil pikiran yang tampak jelas dalam
pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang mempergunakan dalil naqli
(al-Qur’an dan Hadits), kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan
terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil pikiran.
Ada beberapa macam sebutan untuk Ilmu Kalam, yaitu :
1. Ilmu Tauhid, karena
membahas tentang Allah yang meliputi sifat-sifat yang wajib bagi-Nya,
sifat-sifat yang boleh disifatkan bagi-Nya dan sifat-sifat yang sama sekali
tidak wajib bagi-Nya. Di samping itu juga membahas tentang rasul-rasul Allah
untuk menetapkan kerasulan mereka, hal-hal yang wajib pada diri mereka, hal-hal
yang dikaitkan kepada mereka dan hal-hal terlarang yang berkaitan dengan
mereka. Tujuan Ilmu Tauhid adalah untuk memantapkan keyakinan, kepercayaan dan
kemantapan hati yang didasarkan wahyu Allah.
2. Ilmu Ushuluddin, yaitu pokok-pokok kepercayaan terpenting yg menjadi pembahasannya adalah
ketauhidan, kenabian dan kepercayaan pada akhirat. Tujuan Ilmu Ushuluddin
adalah untuk memurnikan keesaan Allah. Ilmu
ini menempati kedudukan yang sangat penting di antara ilmu-ilmu keislaman
lainnya. Hal itu disebabkan objek kajiannya adalah kepercayaan pokok dalam
Islam.
3. Ilmu Akidah, pokok
pembahasan ilmu ini adalah kepercayaan dalam Islam. Akidah merupakan aspek
fundamental dalam Islam yang berhubungan dengan keimanan dan kepercayaan
terhadap hal-hal yang gaib. Beberapa istilah yang digunakan seperti akidah,
tauhid, ilmu kalam dan teologi terdapat persamaan, yaitu dalam objek yang
menjadi pembicaraan atau pembahasan sama-sama membicarakan tentang Allah.
Sedangkan keterkaitan ilmu kalam dengan beberapa ilmu keislaman lainnya
adalah :
1. Filsafat Islam,yaitu ilmu retorika dan ilmu tentang cara berdebat yang diadopsi dari Filsafat
Yunani. Bermanfaat untuk memperkuat dalil-dalil kepercayaan Islam dalam
menghadapi lawan-lawannya.
2. Ilmu Fikih, ilmu
kalam membicarakan tentang akidah, prinsip-prinsip keyakinan Islam dan keesaan
Allah, sementara ilmu fikih membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan
ibadah, mu’amalah, perkawinan, pidana dan waris. Di samping itu ilmu fikih juga mengatur
tentang amaliah pengabdian seorang hamba kepada Allah dan hubungannya dengan
sesama manusia.
3. Ilmu Tasawuf, unsur
utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan
keselamatan abadi. Dalam membahas masalah ibadah ilmu tasawuf lebih banyak
menggunakan perasaan dan latihan kejiwaan, karena dengan cara ini dapat
memperbanyak amal ibadah. Sementara ilmu
kalam menggunakan dalil-dalil pikiran yang dimasukkan ke dalam hati nurani
untuk membentuk ibadah manusia.
D. METODE PEMBAHASAN ILMU KALAM
Menurut Muhammad Amien sistem mutakallimin dalam membahas ilmu kalam
berbeda dengan sistem orang-orang sebelum dan sesudahnya. Sistem Al-Quran
mendasarkan seruannya pada fitrah manusia.
Hampir setiap manusia dengan fitrahnya mengakui adanya Tuhan, meskipun
bebeda dalam menamakan dan memberi sifat-sifat terhadap Tuhan itu sendiri. Sedangkan Mutakallimin (Ulama Kalam) menggunakan akal untuk mencari
Tuhan, tidak puas dengan dogma yang berada di luar jangkauan kekuasaan akal
manusia. Dogma akan lumpuh bila bertentangan dengan akal.
Mengenai nas-nas mutasyabihat, para ulama mutakallimin tidak merasa
puas dengan beriman secara ijmal saja tanpa mengadakan takwil. Mereka
mengumpulkan nas-nas yang bertentangan, kemudian ditakwilkan. Mentakwilkan nas-nas itu adalah ciri khusus
bagi mutakallimin. Mentakwilkan nas-nas ini memberikan kebebasan pada akal
untuk membahas dan memikirkannya dan hal itu akan menimbulkan perbedaan hasil
takwil. Mentakwil itu tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw.
E. RUANG LINGKUP ILMU KALAM
1. Wujud Tuhan, manusia
yang menghargai akal fikirannya dan ingin mempertemukan akal fikiran itu dengan
ajaran-ajaran agama, pasti akan mencari bukti-bukti adanya Tuhan. Sebab Tuhan menjadi sumber soal-soal lainnya,
seperti keesaan, sifat dan perbuatan-Nya, rasul-rasul dan soal keakhiratan
serta masalah lain yang berkaitan dengan keimanan.
2. Ke-Esa-an Tuhan, dalil tentang keesaan
Tuhan diantaranya seperti yang dikembangkan oleh filosof muslim Al-Faraby dalam Teori Urutan Wujud. Menurut Ibn
Rusyd, untuk membuktikan keesaan Tuhan menggunakan dalil-dalil syara’ yang
ditujukan kepada hati dan fikiran manusia dalam berbagai tingkatannya.
3. Zat dan Sifat Tuhan,
dari semua pendapat tentang zat Tuhan, pendapat Muktazilah yang lebih dekat
dengan prinsip keesaan dan penyucian Tuhan (tauhid dan tanzih)
dan prinsip peniadaan persamaan Tuhan dengan makhluk. Pendapat yang benar dalam
soal sifat ialah pengakuan adanya sifat-sifat Tuhan tanpa membicarakan qadim
dan hadisnya.
4. Sifat-sifat Aktif Tuhan
, Ulama Kalam tidak sama pendapatnya tentang sifat Tuhan berupa perbuatan, baik
tentang definisi maupun tentang qadim hadisnya. Menurut Muktazilah setiap yang
bisa ada dan bisa tidak ada, disebut sifat aktiva, seperti menjadikan, memberi
rezeki dan berbicara. Menurut aliran Asy’ariyah sifat aktiva ialah sifat yang
apabila tidak ada, maka tidak diharuskan adanya sifat-sifat yang berlawanan.
5. Sifat Ilmu Menurut
Muktazilah, sifat ilmu adalah qadim dan tidak terkena berubahan. Asy’ariyah berpendapat bahwa manusia tidak
bisa mengetahui hakikat ilmu Tuhan. Maturidiyah menetapkan sifat ilmu yang
qadim didasarkan atas ayat-ayat al-Qur’an dan dikuatkan dengan dalil akal
pikiran yang didapatkan dari tanda-tanda kebijaksanaan Tuhan. Ibn Rasyid
menetapkan adanya sifat ilmu yang dapat dibuktikan dengan adanya ketelitian
susunan alam ini.
6. Sifat Kalam , Perkataan
Tuhan (kalam) adalah apa yang diwahyukan kepada manusia melalui orang-orang
pilihan-Nya (rasul dan nabi-nabi). Kalam yang berisi peraturan untuk
kebahagiaan manusia, berupa kepercayaan kepada Allah, syari’at dan akhlak. Kesemuanya
itu (kalam) dinamakan perkataan Allah, baik dinyatakan dalam bahasa Ibrani
maupun bahasa Arab dan dengan cara yang berbeda-beda
7. Kejisiman Tuhan , Kaum
Musyabihah dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan adalah Jisim, bahkan seperti
manusia, beranggota badan, berarah dan bergerak. Sementara Ulama Kalam
menyatakan pula dengan tegas kebalikkannya, Tuhan tidak mungkin berjisim.
Manusia tidak dapat mengetahui Allah dan menentukan sifat-sifat-Nya yang
sebenarnya. Kecuali dengan menggunakan tasybih (persamaan) dengan makhluk dan
tanzih (penyucian). Tuhan tidak pantas berjisim seperti makhluk ciptaan-Nya.
8. Arah, Muktazilah dengan
tegas mengingkari arah bagi Tuhan karena menetapkan arah itu berarti menetapkan
tempat bagi-Nya dan menetapkan tempat itu berarti menetapkan kejisiman-Nya. Menurut
Asy’ary, pendapat tentang arah Tuhan lebih mendekati kepada penjisiman Tuhan.
9. Rukyat, soal rukyat bertalian erat
dengan soal kejisiman dan arah serta menjadi salah satu bahan perselisihan yang
penting antara aliran-aliran Islam, meskipun masing-masing aliran mendasarkan
pendapatnya pada al-Qur’an. Penyebab utama perselisihan itu adalah perbedaan
gambaran terhadap zat Tuhan dan pertalian antara orang yang melihat dan yang
dilihat. Dalam alasan Asy’ary dan golongan Asy’ariyah banyak hal yang sukar
diterima akal.
10.Keadilan Tuhan, ulama muslim tidak sama
pemahamannya terhadap iradah (kemauan/kehendak) Tuhan. Apakah kehendak itu mutlak, tidak tunduk
kepada norma-norma, baik dan buruk, adil dan zalim serta kebijaksanaan ATAUKAH
tunduk kepada hal-hal itu semua?
11.Qada dan Qadar, perbedaan pendapat dalam soal qada dan
qadar, terutama karena adanya beberapa ayat al-Qur’an yang pengertiannya saling
bertentangan. Di satu pihak, beberapa ayat menetapkan pertanggungjawaban
manusia atas perbuatannya. Di pihak lain, beberapa ayat menyatakan bahwa Tuhan
yang menjadikan segala sesuatu.
F. PENERAPAN ILMU KALAM
Orang-orang Islam periode pertama beriman kepada takdir baik dan buruk,
beriman bahwa manusia itu diperintah untuk melaksanakan suruhan Allah. Iman
mereka terhadap hal-hal tersebut sangat kuat, tanpa membahas secara mendalam
dan tidak memfilsafatkan pikirannya. Kemudian datang orang-orang yang
mengumpulkan ayat-ayat sekitar masalah itu dan memfilsafatkannya. Di satu pihak
ada ayat-ayat yang menunjukkan adanya
paksaan (predestinasi) dalam pemberian tugas di luar kemampuan
manusia. Di pihak lain banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa manusia bisa
melakukan ikhtiar dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya (indeterminitis).
Firman Allah :
ومَا مَنَعَ النَّاسَ أَن يُؤْمِنُواْ إِذْ جَاءهُمُ
الْهُدَى إِلاَّ أَن قَالُواْ أَبَعَثَ اللّهُ بَشَراً رَّسُولاً
Artinya : Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman
ketika petunjuk datang kepadanya. (Q.S. Al-Isra’ : 94)
Ketika Rasulullah Saw wafat, beliau tidak menunjuk seorang pengganti
dan tidak pula menentukan prosedur yang bisa dipergunakan dalam pemilihan
khalifah. Sebagai bukti golongan muhajirin dan golongan ansar berselisih
pendapat dengan alasannya masing-masing. Perselisihan politik yang telah
diwarnai agama membawa mereka kepada perbedaan dalam memberikan definisi
tentang iman, kufur, dosa besar, dosa kecil, hukum orang yang melakukan dosa
besar. Setelah itu mereka terbawa kepada
perselisihan di bidang furuk, sehingga tiap-tiap partai menjadi golongan yang
berselisih di bidang usul dan furuk sepanjang zaman.
Pada sisi lain, para mutakallimin memiliki kepentingan terhadap
filsafat dengan tujuan untuk menghadapi dan mengimbangi musuh-musuhnya yang
menguasai filsafat. Mutakallimin perlu mendebat mereka dengan mempergunakan
alasan-alsan yang sama. Tuntutan ini
kemudian mengharuskan mutakallimin untuk mempelajari filsafat Yunani dalam
mengambil manfaat ilmu logika, terutama dari segi ketuhanannya. Kita mengetahui
an-Nadham (tokoh Muktazilah) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak
beberapa pendapatnya.
(Materi Akidah Akhlak Kelas XI Madrasah Aliyah)
Dikutip dari berbagai sumber
Dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar