Minggu, 27 November 2011

Perilaku Orang yang Bertauhid

KH.Abdullah Gymnastiar mengutarakan dalam sebuah tausiyahnya tentang  beberapa ciri-ciri orang bertauhid, di antaranya adalah :
  1. Ikhlas, yaitu melakukan sesuatu hanya bertujuan untuk mencari keredhaan Allah semata, tidak bertujuan selain hanya ke Allah Swt.
  2. Tidak iri dan dengki, maksudnya orang yang bertauhid tidak akan mendengki terhadap orang lain yang memperoleh nikmat dari Allah, karena dia mengetahui Allah Maha Bijaksana dan Adil dalam membagikan rezki, Allah Maha Menentukan setiap takdir dan kejadian, sehingga tidak perlu merasa iri atau dengki kepada orang yang telah ditakdirkan memperoleh nikmat-Nya.
  3. Tidak banyak mengeluh, orang yang bertauhid tidak akan suka mengeluh, karena mengetahui setiap peristiwa dan episode hidup adalah atas izin Allah Swt. Jika dia mendapat masalah, dia akan segera mengoreksi diri dan mengevaluasi tauhidnya, apakah selama ini ada yang kurang tepat, sehingga tanpa disadari telah bermaksiat terhadap Allah. Setelah itu dia memperbaiki dirinya.
  4. Tidak licik, artinya orang yang bertauhid pasti tidak akan melakukan hal-hal yang licik dalam kegiatan apapun, karena dia menyakini bahwa Allah pasti akan membalas erbuatan sekecil apapun serta Allah lah yang membolak-balik hati dan mengetahui setiap apa saja yang terlintas dalam hati.
Dalam hal orang-orang yang berperilaku tauhid ini terdapat beberapa kisah tokoh-tokoh teladan, di antaranya adalah :


1. Kisah Nabi Ibrahim As. dalam Mencari Tuhan


Nabi Ibrahim As. Khalilullah (Kekasih Allah) termasuk salah seorang keturunan dari Nabi Nuh As. dengan silsilah keturunan sebagai berikut : Ibrahim bin Azhar/Tarah bin Tanur bin Siruj bin Sam bin Nuh As. Dalam al-Qur’an nama ayahnya disebut dengan Azhar, sedangkan dalam Taurat disebut dengan Tarah. Ibrahim As. dilahirkan di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan kemusyrikan dan kekufuran yang dikuasai oleh seorang raja yang bernama Namrudz, seorang raja zalim dan suka bertindak semena-mena, bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Namrudz bersama seluruh rakyatnya menyembah berhala, termasuk Azar ayah Nabi Ibrahim sendiri. Azar ahli dalam membuat patung dan raja Namrudz sangat menyukai patung buatan Azhar.

Sebelum Ibrahim As. dilahirkan raja Namrudz bermimpi bahwa, kelak akan lahir seorang anak laki-laki yang akan menggulingkan kekuasaannya. Sejak mimpi itu Namrudz sangat gelisah dan cemas, takut mimpi itu akan menjadi kenyataan. Berdasarkan kegelisahan itu Namrudz akhirnya mengeluarkan undang-undang kerajaan, yang isinya “setiap bayi laki-laki yang lahir harus dibunuh”. Kemudia Namrudz memerintahkan kepada seluruh bala tentaranya untuk menyebar ke segala penjuru untuk mendata perempuan yang sedang hamil, jika ditemukan wanita yang baru melahirkan bayi laki-laki langsung mereka bunuh tanpa sedikitpun rasa kemanusiaan.  

Waktu Nabi Ibrahim dilahirkan, ayahnya tidak sanggup untuk membunuh anaknya. Oleh karena itu ayahnya menyembunyikan Nabi Ibrahim di sebuah goa yang terletak di hutan, dengan pikirian nanti anaknya itu akan mati juga dimakan binatang buas. Namun Allah berkehendak lain, diluar jangkauan akal manusia, Nabi Ibrahim dalam penjagaan Allah, sehingga tidak satupun  binatang buas dalam hutan itu yang mengganggu atau memakannya, bahkan Nabi Ibrahim dalam keadaan sehat wal ‘afiat. Hal ini bisa terjadi karena Allah telah memberikan jaminan, jika bayi Nabi Ibrahim menghisap jarinya, maka keluarlah madu yang manis dari jarinya, dengan demikian Nabi Ibrahim tidak merasakan haus dan lapar. Subhanallah, Allah berbuat sekehendak-Nya, bahkan diluar logika manusia. Inilah yang disebut dengan ir-hash, yaitu sesuatu keajaiban yang luas biasa yang terdapat pada diri Rasul semasa kecilnya atas izin Allah Swt.

Setelah beberapa lama kemudian, ayah dan ibunya mencoba melihat anaknya di gou tempat Nabi Ibrahim disembunyikan. Awalnya mereka berkeyakinan bahwa anaknya itu pasti telah tiada, namun betapa kagetnya mereka ternyata Ibrahim As. berada dalam keadaan sehat wal’afiat saja dan sejak itu mereka sering menjenguk Nabi Ibrahim kecil secara sembunyi-sembunyi. Setelah Nabi Ibrahim berumur satu tahun, Azhar dan istri membawa anaknya pulang. Dari hari sampai berbulan Nabi Ibrahim semakin beranjak remaja, ia mulai bertanya kepada orang tuanya, siapakah yang menciptakan alam serta isinya.

Pada suatu ketika Nabi Ibrahim bertanya “Wahai ayah dan ibuku, siapakah yang telah menjadikan diriku ini?”. Orang tuanya menjawab “Ayah dan ibu yang menjadikanmu, kamu lahir disebabkan kami”. Ibrahim bertanya lagi “Kalau begitu, siapa pula yang menjadikan ayah dan ibu?” Ayahnya menjawab “kakek dan nenekmu”. Demikianlah seterusnya, sehingga sampai puncaknya Nabi Ibrahim menyatakan “Siapakah orang pertama yang menjadikan semua ini?”. Orang tuanya tidak lagi mampu menjawab, karena mereka tidak mengetahui tentang Tuhan. Kemudian Ibrahim bertanya pula kepada semua orang, merekapun sama seperti orang tuanya, tidak seorangpun di antara mereka yang bisa menjawab pertanyaan itu.

Keadaan ini membuat Nabi Ibrahim semakin penasaran dan penuh tanya dalam hati, akhirnya dia menggunakan akal dan logika untuk mencari Tuhan Sang Pencipta jagad raya. Namun usahanya selalu gagal, karena memang akal manusia diciptakan sangat terbatas dibandingkan kekuasaan Allah. Hal ini disinyalir oleh Allah Swt. dalam Firman-Nya :

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ. فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغاً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـذَا رَبِّي هَـذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ. إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفاً وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ.

Artinya : Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhan-ku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”.  Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhan-ku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhan-ku, ini lebih besar”.  Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang Menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (al-An’am : 76-79)

Begitulah kisah Nabi Ibrahim As. dalam mencari Tuhannya, yaitu dengan menggunakan akal dan logika berawal dari mempertanyakan penciptaan diri, keluarga, masyarakat dan alam semesta. Awwaluddin ma’rifatullah (agama berawal dengan mengenal Allah), siapa yang ingin mengenal Allah, maka kenalilah diri terlebih dahulu. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.

2. Kisah Salman al-Farisi dalam Mencari Tuhan

Salman al-Farisi dilahirkan di desa Jayyan suatu kawasan di Persia Irak. Ayahnya seorang pemimpin dan tokoh yang paling kaya serta memiliki kedudukan yang tinggi di Jayyan. Sejak lahir Salman adalah seorang anak yang paling disayangi oleh ayahnya, karena saking sayang Salman tidak dibolehkan keluar rumah oleh ayahnya, bagaikan gadis pingitan saja, karena khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan dengan anaknya. Salman berasal dari keluarga dan masyarakat yang taat kepada agama Majusi, karena ketaatannya itu, Salman diangkat menjadi pemimpin untuk mengurus soal “api” yang akan disembah oleh kaumnya. Kepada Salman diserahkan tanggung jawab untuk menjaga agar nyala api tidak padam di sepanjang waktu.

Pada suatu ketika ayahnya yang punya kebun luas dan mengurus kebunnya sendiri, berhalangan untuk ke kebun, kemudian menugaskan Salman untuk menggantikannya dan berkata :
“Wahai Salman, anakku. Sebagaimana engkau ketahui, karena ada sesuatu masalah, ayah hari ini tidak bisa mengurus kebun. Gantikanlah ayah kali ini dan pergilah engkau ke kebun untuk mengurus segala sesuatunya di kebun”. Lalu Salman keluar menuju kebun. Dalam perjalanan Salman melewatgi sebuah gereja dan dia mendengar suara-suara orang Nasrani itu sedang melakukan ibadah, hal ini menarik perhatiannya. Setelah memperhatikan rangkaian ibadah Nasrani itu, Salman tertarik dengan cara ibadahnya, sampai akhirnya Salman suka kepada agama itu dan bergumam “Demi Allah, ini jauh lebih baik dari agama yang aku ikuti selama ini! Dan Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai matahari hampir tenggelam. Aku tidak akan pergi ke kebun ayahku”. Kemudian dia bertanya kepada orang-orang Nasrani itu  “Dari mana agama ini?”. Mereka menjawab “Dari Negeri Syam”.

Setelah menjelang malam Salman sampai di rumah dan ayahnya menyambutnya dan menanyakan apa yang telah dikerjakannya di kebun, Salman menjawab “Ayah, di perjalanan aku melewati orang-orang yang sedang beribadah di suatu gereja, aku tertarik pada apa yang ku lihat, yaitu mengenai tata cara agamanya. Aku akhirnya berdiam bersama mereka sampai matahari terbenam”. Ayahnya kaget mendengarkan cerita Salman dan berkata “Wahai anakku, agama itu tidak memiliki kebaikan sama sekali. Agamamu dan agama nenek moyangmu jauh lebih baik dari agama itu!”. Salman menjawab “Tidak mungkin, demi Allah, sungguh agama mereka jauh lebih baik dari agama kita!”. Ayahnya menjadi takut mendengar cerita itu dan khawatir Salman akan keluar dari Majusi. Lalu Salman dikurung dan kakinya dibelenggu di dalam rumah.

Keadaan itu tidak membuat Salman putus asa, suatu ketika dia memperoleh kesempatan untuk menghubungi pimpinan agama Nasrani, Salman berpesan “Bila ada rombongan yang hendak pergi ke negeri Syam dan singgah di tempat kalian, tolong beritahu aku!”. Tak berapa lama berselang, datanglah suatu rombongan yang mau berangkat ke negeri Syam, mereka segera memberitahu Salman. Mendengar itu Salman berusaha melepaskan diri dari pasungannya dan akhirnya berhasil. Dengan sembunyi-sembunyi Salman keluar dan kabur mengikuti rombongan itu sampai ke negeri Syam.

Sesampainya di negeri Syam Salman menuju perkumpulan Nasrani dan bertanya “Siapakah orang terbaik dari penganut agama ini?” Mereka menjawab “Uskup (tingkatan kewalian dalam gereja) dan pemimpin gereja”. Salman lalu menemui Uskup dan berkata “Aku sangat tertarik untuk masuk agama Nasrani, aku ingin selalu dekat denganmu, melayanimu, belajar darimu serta beribadah bersamamu” Uskup menjawab “Silahkan masuk!” selanjutnya Salman menjadi pelayan Uskup tersebut. Tidak berapa lama tinggal bersama di gereja, Salman menyadari bahwa sebenarnya Uskup itu adalah orang yang tidak baik. Dia menyuruh para pengiktunya untuk bersedekah dengan menjanjikan pahala, namun dia memanfaatkan infak itu untuk dirinya sendiri, hingga terkumpul dari hasil infak itu sampai tujun gentong emas.

Salman sangat membenci perbuatan Uskup itu, namun tak lama kemudian Uskup itu meninggal. Waktu pemakamannya Salman berkata kepada kaum Nasrani yang melayat “Sesungguhnya pemimpin kalian ini orang yang tidak baik, dia menyuruh bersedekah dan menjanjikan pahala, namun setelah infak terkumpul dia menyimpannya untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk kaum fakir miskin” Kaum Nasrani itu menjawab “Dari mana engaku mengetahui hal itu?” Salman menambahkan “Aku akan tunjukkan kepada kalian tempat penyimpanannya”. Setelah mengetahui hal sebenarnya mereka berkata “Demi Allah, kita tidak akan mengubur dia”. Akhirnya jenazah Uskup itu disalib dan dilempari dengan batu.


Kemudian pendeta ini digantikan oleh seorang pendeta yang berakhlak baik, figur yang zuhud terhadap dunia, berakhlak mulia, cinta terhadap akhirat dan rajin beribadah siang dan malam. Salman sangat mencintai gurunya yang satu ini. Namun tak lama kemudian pendeta ini pun menemui ajalnya. Sebelum pendeta ini meninggal, Salman bertanya kepadanya, siapa orang orang yang masih berada di atas agama ini? Pendeta itu mengatakan “Anakku, demi Allah, pada hari ini aku tidak mengetahui ada seseorang yang menganut ajaran sepertiku. Orang-orang telah binasa dan merubah ajaran Nasrani, mereka telah meninggalkan banyak ajarannya, kecuali seseorang di daerah Maushil, Fulan, dia menganut ajaran sepertiku. Ikutilah dia”.

Selesai prosesi pemakaman pendeta ini, Salman menuju Maushil dan berguru kepada seorang Nasrani di sana. Lagi-lagi, maut pun menjemput gurunya. Sebelum gurunya meninggal, Salman bertanya pula, Siapa yang masih berada di atas ajaran ini? “Fulan di daerah Nashibin” jawab gurunya. Hal ini berulang kali terjadi pada diri Salman, berpindah dari satu guru ke guru yang lain, dari satu tempat ke tempat lain, demi mencari hidayah ajaran agama yang benar, sehingga suatu ketika Salman pernah berujar “saya berganti guru sebanyak belasan kali, dari satu guru ke guru lainnya”.

Selanjutnya Salman berguru kepada seorang pendeta di kota ‘Ammuriyah, namun tak lama kemudian pendeta itupun meninggal dunia. Sebelum pendeta itu meninggal dunia, Salman bertanya dengan nada yang sama, siapa orang yang masih setia memeluk agama Nasrani yang murni? Pendeta pun menjawab “Anakku, Demi Allah, sekarang ini saya tidak mengetahui siapa yang menganut agama seperti kita ini. Tetapi sudah dekat zaman Nabi yang diutus membawa agama Nabi Ibrahim, tempat hijrahnya banyak pohon kurma dan diapit dua tempat yang banyak batu hitam (Madinah). Dia memiliki tanda yang tidak tersembunyi; mau memakan hadiah, tidak mau memakan sedekah dan antara dua pundaknya ada tanda kenabian. Jika kamu tinggal bersamanya di negeri itu, lakukanlah”.

Selang beberapa lama kemudian, datanglah sekelompok saudagar dari negeri Arab, Salman pun meminta tumpangan kepada mereka dengan bayaran beberapa sapi dan kambing hasil pekerjaannya. Di tengah perjalanan, tepatnya di Wadi al-Qura saudagar tersebut menzalimi Salman. Dia menjual Salman sebagai budak kepada seorang Yahudi. Tak lama tinggal bersama Yahudi itu, Salman dijual lagi kepada seorang Bani Quraizhah dari Madinah, Salman pun dibawa ke sana. Ketika memasuki kota Madinah, Salman paham, inilah kota yang dimaksud oleh gurunya dulu.

Pada masa itu Rasulullah Saw. pun diutus oleh Allah, beliau tinggal di Makkah. Salman tidak mengetahui tentang Rasulullah karena kesibukannya sebagai budak. Namun ketika Nabi Saw. hijrah ke Madinah, seorang sepupu tuannya tergopoh-gopoh mengeluhkan sesuatu “Wahai Fulan, semoga Allah membinasakan Bani Qailah (Anshar), Demi Allah! Hari ini mereka berkumpul di Quba, menemui seseorang di Makkah, dia menyatakan bahwa dirinya Nabi” kata sepupu tuannya.

Salman yang ketika itu sedang berada di atas pohon gemetar mendengar berita ini, sehingga dirinya hampir saja jatuh dan menimpa tuannya. Salman kemudian turun dan bertanya kepada sepupu tuannya “Apa katamu? Apa katamu?”. Tuannya marah dan memukulnya sambil menghardik Salman “Apa urusanmu! Kembali bekerja!” bentaknya. Salman menjawab “Tidak, saya hanya ingin memastikan saja”.

Malamnya Salman mengambil perbekalan yang dia kumpulkan, kemudian pergi menuju Quba untuk menemui Rasulullah. Sesampai di Quba Salman langsung menuju Rasulullah dan mengatakan “Saya diberitahu bahwa tuan adalah seorang yang shaleh dan sahabat tuan adalah orang yang membutuhkan. Inilah milik saya untuk disedekahkan” ujar Salman mengulurkan bekalnya kepada Nabi. Kemudian Rasulullah berkata “Makanlah kalian” sedangkan beliau tidak menyentuhnya sama sekali. “Ini satu tanda” gumam Salman dalam hati. Kemudian Salman pun pulang lagi ke rumah tuannya.

Kemudian ketika Rasulullah hendak berangkat ke Madinah Salman mendatangi beliau lagi, membawa bekal yang lebih banyak dari sebelumnya dan mengatakan “Saya melihat tuan tidak memakan sedekah, ini ada hadiah untuk tuan sebagai bentuk pemuliaan saya kepada tuan”. Rasulullah menyambut dan memakan hadiah itu serta mengajak sahabatnya untuk ikut makan bersama beliau. Salam berguman dalam hati “Dua tanda”.

Hari berikutnya Salman kembali menemui Nabi di pemakaman Baqi’. Ketika itulah Salman melihat punggung Nabi. Untuk memeriksa tanda ketiga yang berupa tanda kenabian di antara pundak beliau. Rasulullah memahami keinginan Salman, kemudian Rasulullah menurunkan pakaian atasnya, yang waktu itu berupa selendang. Waktu Salman melihat tanda kenabian di punggung beliau, dia memeluk Rasulullah, mencium Rasulullah dan menangis. Setelah sekian lama merindukan hidayah, akhirnya Salman pun bertemu dengan pembawa panji hidayah itu. Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Makhluk yang pantas dibela sampai titik darah penghabisan. Tak heran, Salman pun kemudian menjadi salah seorang benteng Rasulullah dalam beberapa peperangan.

Demikianlah kisah indah Abu Abdillah Salman al-Farisi, seorang sahabat mencari jati diri. Kesulitan demi kesulitan dialaminya demi mencari kebenaran. Kasih sayang dari ayahnya tak mampu menghentikan langkahnya untuk memburu kebenaran. Begitulah jiwa yang telah dikehendaki Allah, jiwa yang dikehendaki-Nya menerima hidayah. Semoga Allah meridhai dan merahmatinya.

3. Kisah Rabi'ah al-Adawiyah

Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah termasuk wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam, dilahirkan sekitar awal abad kedua Hijrah di kawasan Kota Basrah Irak. Rabi’ah hidup dalam sebuah keluarga miskin dari segi harta, namun kaya dengan peribadatan kepada Allah, karena begitu miskinnya, pada malam Rabi’ah dilahirkan, tidak satu pun barang berharga yang dapat ditemukan orang tuanya di rumah. Ayahnya bahkan tidak mempunyai setetes minyak pun untuk memioleh pusar putrinya, tidak punya lampu dan tidak memiliki kain untuk selimut Rabi’ah. Ayahnya berkerja sebagai pengangkut penumpang dengan sampan di penyeberangan Sungai Dijlah. 

Walaupun pada akhir abad pertama Hijrah kondisi umat Islam yang waktu itu dalam pemerintahan Bani Umayah sudah mulai meninggalkan nilai-nilai ketaqwaan, pergaulan semakin bebas dan orang-orang berlomba-lomba mencari kekayaan. Namun Allah tetap memelihara hamba-hamba-Nya yang beriman agar tidak terjerumus ke dalam fitnah dan kekufuran itu. 

Dalam keadaan yang hiruk-pikuk dengan kemungkaran waktu itu, muncullah satu gerakan baru yang dinamakan dengan Tasawuf Islami di bawah pimpinan Hasan al-Bashri. Pengikutnya juga terdiri dari kaum wanita, Hasan al-Bashri mencurahkan waktu dan tenaganya untuk mendidik jiwa dan rohani, mengatasi segala tuntutan hawa nafsu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ayah Rabi’ah adalah salah seorang hamba yang sangat menjaga nilai-nilai ketaqwaan, terasing dari kemewahan dunia, tapi tidak pernah lelah bersyukur kepada Allah, dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih, pendidikan yang diberikan kepada Rabi’ah bersumber dari al-Qur’an semata.


Rabi’ah yang sejak kecil memiliki jiwa yang halus, memiliki keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam sangat gemar membaca dan menghayati isi al-Qur’an, sehingga dia berhasil menghafal kandungan al-Qur’an. Di usia remaja kehidupan Rabi’ah dalam keadaan serba sulit dan semakin sulit setalah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Hal ini dianggapnya sebagai ujian dan bertujuan untuk membuktikan keteguhan imannya. Keadaan sulit ini dipergunakan oleh Rabi’ah untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.


Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya  tidak pernah menikah dianggap mempunyai saham besar dalam memperkenalkan cinta Allah ke dalam mistisme Islam, kecintaannya kepada Allah mampu menutup kecintaannya kepada yang lain. Rabi'ah mengatakan "Kekasihku tiada yang bisa menyamai-Nya, tidak satu pun yang ada dalam hatiku kecuali Dia, ada dimanapun, tiada mengenal tempat. Kekasihku gaib dari penglihatan dan pribadiku sendiri, akan tetapi Dia tidak pernah gaib dari hatiku sedikitpun".

Suatu hari di musim semi, Rabi’ah hendak masuk rumahnya, kemudia menoleh keluar karena pelayannya berseru “Ibu, keluarlah dan saksikan apa yang telah dilakukan oleh Sang Pencipta”. Kemudian Rabi’ah menjawab “Lebih baik engkau yang masuk kemari, saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri, aku sedemikian asyik menatap Sang Pencipta, sehingga membuatku tidak peduli lagi terhadap ciptaan-Nya”. 

Rabi'ah telah membentuk suatu cara yang luar biasa untuk mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan kepada Allah sebagai alat untuk membersihkan jiwa, dia mengawali kehidupan sufi-nya dengan menanamkan rasa takut atas kemurkaan Allah. Dalam kesendiriannya dimalam yang sunyi Rabi’ah selalu bermunajat kepada Allah dengan do’a-do’a yang melantun dari mulutnya, di antaranya : 
  1. Wahai Tuhanku, apakah engkau akan membakar hati yang mencintai-Mu, lisan yang selalu menyebut nama-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?
  2. Ya Allah, ya Tuhanku, aku berlindung diri kepada Engkau dari segala yang bisa membuat aku beroaling dari-Mu, dari segala yang menghalangi dan membatasi antara aku dengan Engkau.
  3. Tuhanku, bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenayk, semua pemilik telah menutup pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.
  4. Tuhanku, tiada ku dengar suara binatang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya tempat berteduh, tiada tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan, melainkan aku dapati semua itu menjadi bukti ke-Esa-an-Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.
  5. Sekalian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik-masyuk. Yang tinggal hanya Rabi’ah yang banyak kesalahan kepada-Mu, maka semoga Engkau berikan suatu petunjuk kepadanya, yang akan menahannya dari tidur, supaya bisa khusyuk terhadap-Mu.
Itulah di antara do’a-do’a Rabi’ah kalau sedang bermesraan dengan Allah. Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya  tidak pernah menikah dianggap mempunyai saham besar dalam memperkenalkan cinta Allah ke dalam mistisme Islam, kecintaannya kepada Allah mampu menutup kecintaannya kepada yang lain. Suatu hari di musim semi, Rabi’ah hendak masuk rumahnya, kemudia menoleh keluar karena pelayannya berseru “Ibu, keluarlah dan saksikan apa yang telah dilakukan oleh Sang Pencipta”. Kemudian Rabi’ah menjawab “Lebih baik engkau yang masuk kemari, saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri, aku sedemikian asyik menatap Sang Pencipta, sehingga membuatku tidak peduli lagi terhadap ciptaan-Nya” .


-----------------------------------------------------
(Materi Pelajaran Akidah Akhlak Kelas XI MA)
Dikutip dari berbagai sumber

1 komentar: