A. Tokoh Pendiri dan Perkembangannya
Tarekat
Suharawardiyah dinisbahkan kepada Dhiya’ al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (w. 564
H/1168 M), didirikan oleh keponakan dan sekaligus muridnya Shihab al-Din Abu
Hafs Umar al-Suhrawardi yang lahir di Suhraward pada tahun 539 H/1144 M dan
wafat di Baghdad pada tahun 632 H/1234 M. Di mana pada awalnya Abu Hafs Umar
memperoleh bimbingan agama tarekat dari pamannya Dhiya’ al-Din Abu Najib
al-Suhrawardi di sebuah Ribath yang terletak di tepi sungai Tigris, setelah itu
dia merantau ke Bashrah dan Baghdad untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan
dari sejimlah syekh, seperti Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, Syekh Muhammad ibn
Abd Allah dan Syekh Abd al-Qasim ibn Fadhlan. Sepulang dari rantau dengan
membawa ilmu, beliau ditugaskan oleh pamannya sebagai pengajar di Ribath,
hingga akhirnya Suhrawardi termasyhur di segala penjuru.
Kemasyhuran
Suhrawardi di dukung oleh pemerintah di zamannya, Khalifah Nasir (1180-1225 M)
menginginkan bangkitnya kehidupan rohani yang lebih baik di seluruh dunia
Islam, sehingga terciptanya persatuan atau hubungan baik antara pengasa muslim
untuk menghadapi ancaman tentara Mongol. Khalifah kemudian menunjuk Abu Hafs
Umar al-Suhrawardi sebagai duta ke sejumlah penguasa muslim dan membangkitkan
semangat futuwah (semangat kepemudaan) di kalangan umat. Syekh
al-Suhrawardi menyanggupi tugas itu dan kemudian menemui beberapa khalifah,
seperti Sultan Ala’ al-Din Kaiqubad I (Sultan Bani Saljuk), Sultan al-Malik
al-Adil (Sultan Bani Ayyub) dan Syah Khwarizmi.
Bagaikan “sambil menyelam minum
air” Suhrawardi menunaikan tugas yang diamanatkan oleh khalifah juga
menggunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan Ajaran Tarekat Suhrawardiyah
dengan mengajarkannya kepada jama’ah yang menyambutnya di berbagai kota yang
dilewatinya. Di samping itu beliau juga berkoresponden dengan para sufi tentang
berbagai masalah yang dihadapi tasawuf, hal ini bisa dilakukan karena hubungan
baik yang dijalin oleh Suhrawardi dengan para pendukungnya, baik di Baghdad,
maupun ketika mengadakan perjalanan ke berbagai Ribath di Negeri Allepo,
Damaskus dan sebagainya.
Selanjutnya
kemasyhuran Tarekat Suhrawardiyah juga didukung oleh karya tulis Shihab al-Din
Abu Hafs Umar al-Suhrawardi dalam Kitab Awarif al-Ma’arif dan Kitab
Kasyf al-Nasha’ih al-Imaniyah wa Kasyf al-Fadha’if al-Yunaniyah, dimana
karya tulisnya ini menjadi bahan rujukan bagi para sufi, berisi tentang seperangkat
ahwal dan maqamat, berbagai etika dan
adab yang harus dilakukan oleh kaum sufi. Dengan demikian di samping para
pengikut Tarekat Suhrawardiyah, Karya tulisnya ini (Awarif al-Ma’arif)
juga ikut berperan dalam penyebaran ajarannya secara luas, sehingga dikenal di
kawasan Irak, Syam, Persia dan India.
Dalam perkembangan
berikutnya, tarekat ini tersebar ke seluruh dunia, sehingga akhirnya melahirkan
Thaifah yang terorganisir secara reguler. Abd al-Rahman al-Wasithi mengatakan
bahwa, tarekat ini mempunyai banyak cabang yang sulit ditegaskan keberadaannya,
karena sebagian besar Thaifah sufi mengklaim sebagai bagian dari silsilah Suhrawardi.
Di samping itu
Tarekat Suhrawardiyah pada dasarnya merupakan induk dari sejumlah tarekat,
diantaranya Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Shiddiqiyah dan lain sebagainya.
Selain itu tarekat ini juga sampai ke Indonesia, sebab menurut Azyumardi Azra
dalam buku “Jaringan Ulama” mengatakan bahwa, Ahmad al-Qusyasyi selain afiliasi
dengan Tarekat Syathariyah, Chisytiyah, Firdausiyah dan Kubrawiyah dari Ahmad
al-Syinawi, dimana tarekat-tarekat tersebut ada juga di Indonesia.
B. Ajaran Tarekat
Suhrawardiyah
Sebagaimana
ditegaskan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual Tarekat
Suhrawardiyah terdapat pada kitab Awarif al-Ma’arif yang banyak
membicarakan tentang latihan rohani praktis. Maka dapat dirangkum bahwa ajaran
dan ritual Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
- Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan memahami bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami wujud Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam pengabdian dan sujud dihadapan Allah. Ma’rifah ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu : a). Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah); b). Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah; c). Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah; d). Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
- Faqr, yaitu tidak memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jila ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an. Seseorang yang menginginkan dunia, meski tak memiliki harta, makna Faqr hanyalah sekedar angan-angan belaka. Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah. Dalam hal ini ada beberapa golongan Faqr, yaitu : a). Mereka yang memandang dunia dan harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta, mereka akan memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti; b). Mereka yang tidak memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber dari dirinya dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun; c). Mereka yang dengan kedua sifat ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka pandang sebagai anugeral Allah; d). Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
- Tawakkul, yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah), mempercayakan jaminan rezki kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah raja’ (harapan), sebab yang pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari kebenaran keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tawakkul ini terbagi kepada dua, pertama Tawakkul al-inayah, artinya tawakal dalam anugerah Allah, kedua tawakkul al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan dan kehendak Allah, bukan tawakal dalam kecukupan.
- Mahabbah, artinya Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. Ada dua jenis mahabbah : 1). Mahabbah ‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat : a). kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat; b). Sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan; c). Seberkas cahaya yang mengisi wujud; d). Sebuah tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang”; e). Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu; f). Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat. 2). Mahabbah Khas, memiliki sifat : a). Kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan zat; b). Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat; c). Api yang memurnikan wujud; d). Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”; e). Benar-benar sumber murni; f). Sejenis anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
- Fana’ dan Baqa’, Fana’ artinya akhir daei perjalanan menuju Allah, sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalan menuju Allah berakhir ketika dengan ketulusan. Perjalanan di dalam Allah bisa diuji ketika, sesudah fana’ mutlak. Ada yang mengatakan fana’ berarti : a). Fana’ dalam berbagai perbedaan; b). Menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi; c). Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti; d). Menurunnya kadar sifat-sifat tercela; e). Tersembunyinya segala sesuatu. Sementara Baqa’ berarti : a). Baqa’ dalam keselarasan; b). Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak; c). Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah; d). Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji; e). Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).
(Materi Pelajaran Akidah Akhlak Kelas XII)
Dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar