Sabtu, 26 November 2011

Tarekat Naqsyabandiyah

A. Tokoh Pendiri dan Perkembangannya

Sebutan Naqsyabandiyah pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi yang pada akhirnya dikenal sebagai pendiri Tarekat Naqsyabandiyah. Beliau dilahirkan di desa Qasr-i-Hinduvan (kemudian bernama Qasr-i-Arifan) dekat Bukhara pada tahun 1318 M dan di desa ini pula beliau wafat pada tahun 1389 M. Untuk menjaga prinsip “melakukan perjalanan di dalam negeri”, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan dan sekitarnya, termasuk Transoksania. Sebagaimana ditulis oleh Omar Ali Shah dalam buku “Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi” mengatakan bahwa perjalanan jauh yang dilakukan oleh Baha’ al-Din hanya dua kali, yaitu waktu melaksanakan ibadah haji saja.


Baha’ al-Din dari awal memiliki kaitan erat dengan Khawajagan (pada guru dalam mata rantai Tarekat Naqsyabandi), karena sejak masih bayi beliau diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari guru tarekat rumpun Khawajagan yang bernama Baba Muhammad Sammasi dan Sammasi adalah merupakan pemandu pertamanya dalam mempelajari ilmu tasawuf, waktu beliau berusia 18 tahun. Yang tak kalah pentingnya  adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yang bernama Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772 H/1371 H). Dari sinilah beliau pertama kali belajar tarekat yang didirikannya.


Naqsyabandiyah merupakan satu-satunya tarekat yang memiliki silsilah penyampaian ilmu spiritualnya kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Khalifah Muslim pertama Abu Bakar ash-Shiddiq,  tidak seperti tarekat-tarekat lain yang asalnya dari salah satu Imam Syi’ah melalui Khalifah Ali bin Abi Thalib sampai kepada Nabi Muhammad Saw., kemudian tarekat Naqsyabandiyah dibina oleh 5 (lima) bintang atau tokoh, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Salman al-Farisi, Abu Yazid al-Bustami, Abdul Khaliq al-Gazdawani dan Muhammad Baha’ al-Din Uwaysi al-Bukhari, yang terakhir dikenal sebagai Syekh Naqsyaband, yaitu Imam utama tarekat Naqsyabandiyah.


Dalam perkembangannya Tarekat Naqsyabandiyah telah tersebar luas di berbagai wilayah. Pertama berdiri di Asia Tengah, kemudian menyebar ke Turki, Suriah, Afganistan dan India. Di Asia Tengah, tarekat ini tidak saja berada diperkotaan, tetapi juga sampai ke pedesaan terdapat Zawiyah (padepokan sufi) dan rumah peristirahatan Naqsyabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang cukup semarak. Di samping wilayah-wilayah tersebut tarekat ini juga berkembang di Bosnia Herzegovina dan wilayah Volga Ural. Kemudian pengaruhnya yang paling kuat terdapat di Turki dan wilayah Kurditan dan yang paling kurang adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa, yaitu dibawah gerakan “Islam Bawah Tanah” di Kaukasus Asia Tengah, namun di akhir pemerintahan Soviet pengaruh Naqsyabandiyah mulai berkurang. 


Sebagai pendiri tarekat Baha’ al-Din Nasyabandi dalam melakukan kegiatan dan penyebaran tarekat ini mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub Carkhi, Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad Parsa, kemudian yang paling menonjol dalam perkembangan selanjutnya adalah ‘Ubaidillah Ahrar. ‘Ubaidillah terkenal dengan Syekh yang banyak memilki lahan, kekayaan dan harta. Beliau mempunyai watak yang sederhana dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Dia menganggap kesombongan dan keangkuhan dapat merendahkan tingkat moral dan melemahkan tali pengikat spiritual seseorang. ‘Ubaidillah juga berjasa dalam meletakan ciri khas tarekat ini, yang terkanal dalam menjalin hubungan akrab dengan penguasa saat itu, sehingga ia mendapat dukungan yang cukup kuat. Selanjutnya tarekat ini mulai menyebarkan gerakannya ke luar Islam.


Dalam perkembangan berikutnya Tarekat Naqsyabandiyah menyebar ke Nusantara, yang dibawa dari Mekkah oleh para pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah, kemudian menyebar ke seluruh pelosok tanah air, sehingga  dikenal beberapa tokoh Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara, antara lain :
  1. Muhammad Yusuf, yaitu Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau sebagai Sultan dan mempunyai istana di Pulau Penyengat dan di Lingga.
  2. Di Pontianak, sebelumnya sudah ada Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah. Di sini Tarekat Naqsyabandiyah dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman al-Puntani (ulama terkenal di Pontianak yang menganut Tasawuf).
  3. Di Madura, Tarekat Naqsyabandiyah sudah ada pada abad ke-11 hijriyah. Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah merupakan tarekat yang sangat berpengaruh di Madura dan beberapa tempat lainnya yang penduduknya terdiri dari orang-orang yang berasal dari Madura, seperti Surabaya, Jakarta dan Kalimantan Barat.
  4. Di Minangkabau, Tarekat Naqsyabandiyah adalah tarekat yang paling padat pengikutnya. Tokohnya adalah Jalaluddin dari Cangking, Abdu al-Wahab, Tuanku Syekh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke Silungkang, Cangking, Singkarak dan Bonjol di Pasaman.
  5. Di Jawa Tengah dikembangkan oleh Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat utama kegiatan Tarekat Naqsyabandiyah di Jawa Tengah.
B. Ciri-ciri Tarekat Naqsyabandiyah

Adapun ciri-ciri tarekat ini Dra.Wiwi Siti Sajaroh,M.Ag dalam buku “Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia” memberikan ciri-ciri yang menonjol dalam Tarekat Naqsyabandiyah, yaitu :
  1. Mengikuti syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah dan menolak musik dan tari dalam ibadah dan lebih menyukai berzikir dalam hati.
  2. Upaya yang serius dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara kepada agama. Berbeda dengan tarekat lainnya, tarekat Baqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu, namun sebaliknya berusaha mengubah pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
  3. Membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa sebagai usaha untuk memperbaiki masyarakat.
C. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah

Mengenai ajaran Tarekat Naqsyabandiyah dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :

1. Azas-Azas

Pengikut Naqsyabandiyah mengenal sebelas azas Thariqah, delapan dari azas itu dirumuskan oleh Abdu al-Khalid Gazdawani dan tiga ditambahkan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Masing-masing azas itu disebutkan dalam beberapa risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para pengikut Khalidiyah. Kitab Jami al-Ushul fi al-Auliya karya Ahmad Dhinya’ al-Din Gumusykhanawi, kitab ini dibawa ke tanah air oleh sebagian besar jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi adalah Tanwir al-Qulub karya Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, kitab ini masih dipakai secara luas. Pembahasan kitab-kitab ini sebagian besar mirip dengan pembahasan Taj al-Din Zakarya (‘kakek” spiritual Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip oleh Trimingham. Azas-azas itu ditulis dalam bahasa Persi (bahasa para Khawajagan dan kebanyakan bahasa penganut Naqsyabandiyah India). Azas-Azas Abdu al-Khaliq itu adalah :
  1. Hush dar dam “sadar sewaktu bernafas”. Yaitu suatu latihan konsentrasi, sufi yang bersangkutan harus sadar bahwa setiap menarik nafas, menghembuskan nafas dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar bahwa Allah yang memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah. Lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
  2. Nazar bar qadam “menjaga langkah”. Yaitu sewaktu berjalan, sang murid harus menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan. Hal ini dilakukan supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
  3. Safar dar watan “melakukan perjalanan di tanah kelahiran”. Yaitu melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dia-lah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gusmusykhanawi).
  4. Yad kard “ingat”, “menyebut”. Yaitu terus-menerus mengulangi nama Allah, zikir tauhid (la ilaha illallah) atau formula zikir yang diberikan oleh seorang guru, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu penganut Naqsyabandiyah, zikir tidak saja dilakukan dengan berjamaah atau sendirian setelah selesai shalat, akan tetapi harus terus-menerus, agar dalam hati selalu bersemayam kesadaran terhadap Allah secara permanen.
  5. Baz gasyt “kembali”, “memperbaharui”. Yaitu mengendalikan hati agar tidak cenderung kepada hal-hal yang menyimpang (ngelantur), seorang murid harus membaca “ilahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi” (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mu-lah yang ku harapkan) yang dilakukan setelah membaca zikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas. Sewaktu mengucapkan zikir, arti dari kalimat ini harus selalu berada di hati seseorang, supaya perasaannya yang halus mengarah kepada Allah semata.
  6. Nigah dasyt “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus ketika melakukan zikir tauhid, agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran tetap terhadap Tuhan serta untuk memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru “Ku jaga hatiku selama sepuluh hari, kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun”
2. Zikir dan Wirid

Sebagaimana kebanyakan tarekat, teknik dasar Naqsyabandiyah dalam melakukan zikir adalah dengan menyebut nama Tuhan secara berulang-ulang ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan zikir ini adalah untuk mencapai kesadaran terhadap Allah yang lebih langsung dan permanen. Teknik pertama, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal zikir yang lazimnya zikir diam (khafi “tersembunyi” atau qalbi “dalam hati”), sebagai lawan dari zikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan zikir yang harus diamalkan lebih banyak dari kebanyakan tarekat.
Dalam hal zikir ini, Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua macam zikir, yaitu :
  1. Zikir ism al-zat ”mengingat yang hakiki” dan zikir tauhid “mengingat keesaan”. Yang terdiri dari pengucapan asma Allah secara berulang-ulang dalam hati, dengan jumlahnya ribuan kali (dihitung dengan tasbih) sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata.
  2. Zikir Tauhid (juga zikir tahlil atau zikir nafty wa itsbat), terdiri atas bacaan la ilaha illallah dengan perlahan disertai dengan pengaturan nafas sambil membayangkan seperti menggambar jalan (garis) melewati tubuh. Kalimat la digambar dari daerah pusar terus ke ubun-ubun, kalimat ilaha turun ke kanan dan berhenti di ujung bahu kanan, di situ kalimat berikutnya illa dimulai dengan turun melewati bidang dada sampai ke jantung dan ke arah jantung inilah kata Allah dihunjamkan dengan sekuat tenaga dengan membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Selanjutnya Zikir ini memiliki tujuh tingkatan, yaitu :
  1. Mukasyah. Yaitu mula-mula zikir dengan nama Allah dalam hati sebanyak 5000 kali sehari-semalam, kemudian dilaporkan kepada Syekh untuk dinaikan jumlah zikirnya menjadi 6000 kali sehari-semalam. Zikir 5000 dan 6000 ini dinamakan maqam pertama.
  2. Lathifah, zikir ini antara 7000 sampai 11.000 kali sehari-semalam. Zikir ini terbagi tujuh macam, yaitu : qalb (hati, ruh (jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa (kedalaman paling tersembunyi) dan nafs nathiqah (akal budi). Lathifah ketujuh kull jasad sebenarnya tidak merupakan titik, tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat zikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan.
  3. Nafi’ Itsbat, pada tahap ini atas pertimbangan syekh, zikirnya diteruskan dengan kalimat la ilaha illa Allah. Ini merupakan maqam ketiga.
  4. Waqaf Qalbi.
  5. Ahadiyah.
  6. Ma’iyah.
  7. Tahlil, setelah sampai pada maqam terakhir ini, maka seorang murid akan memperoleh gelar khalifah, dengan ijazah dan berkewajiban menyebarluaskan ajaran tarekat ini dan diperbolehkan mendirikan suluk yang dipimpin oleh mursyid.

----------------------------------------------------
(Materi Pelajaran Akidah Akhlak Kelas XII MA)
Dikutip dari berbagai sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar