A. TOKOH PENDIRI DAN
PERKEMBANGANNYA
Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang
dipelopori oleh Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama kecilnya Ali, bergelar
Taqiyuddin, Julukanya Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy Syadzili.
Al-Syadzili
lahir di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada
tahun 593 H(1197 M). Beliau berasal dari garis keturunan Nabi Muhammad
Saw. dengan silsilah nasab sebagai berikut :
=> As-Sayyid Asy-Syaikh Abil Hasan
Asy-Syadzili bin
=> Ali bin
=> Abdullah bin
=> Tamim bin
=> Hurmuz bin
=> Hatim bin
=> Qusay bin
=> Yusuf bin
=> Yusya bin
=> Ward bin
=> Bathaal bin
=> Ali bin
=> Ahmad bin
=> Muhammad bin
=> Isa bin
=> Muhammad bin
=> Abi Muhammad bin
=> Imam Hasan bin
=> Sayyidna Ali
ra dan Sayyidatina Fathimah binti
=> Rasulullah Sayyidina
Muhammad saw.
Sebagai tokoh tarekat, beliau mengamalkan
tarekat yang juga diajarkan Nabi Muhammad Saw. dengan silsilah tarekat sebagai
berikut :
=> As-Syaikh As-Sayyid Abil Hasan
Asy-Syadzili ra, dari
=> As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra,
dari
=> As-Syaikh Muhammad bin Harazim ra,
dari
=> As-Syaikh Muhammad Salih ra, dari
=> As-Syaikh Shuaib Abu Madyan ra, dari
=> As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir
Al-Jailani ra, dari
=> As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra,
dari
=> As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra,
dari
=> As-Syaikh At-Tartusi ra, dari
=> As-Syaikh Asy-Shibli ra, dari
=> As-Syaikh Sari As-Saqati ra, dari
=> As-Syaikh Ma'ruf Al-Kharkhi ra, dari
=> As-Syaikh Daud At-Tai ra, dari
=> As-Syaikh Habib Al-Ajami ra, dari
=> Imam Hasan Al-Basri ra, dari
=> Sayyidina Ali bin Abu Talib ra, dari
=> Sayyidina Muhammad saw.
Abul Hasan asy-Syadzili menghapal al-Quran
dan merantau ke Tunis ketika usianya masih sangat muda, tinggal di desa
Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa Syadzilah meskipun
ia tidak berasal dari desa tersebut.
Secara
pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga
muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf,
doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari adalah orang yang prtama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga
kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara.
Ibn
Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang
aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi
angkatan-angkatan setelahnya. Melalui sirkulasi karya-karya Ibn
Atha’illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara
yang pernah menolak sang guru.
Syadzili
sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan
atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang
digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan
ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah
yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai
ajaran, Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu
perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya : “Seandainya kalian mengajukan
suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid
al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya : “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya
al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki,
mewarisi anda cahaya.”
Tarekat
Syadziliyah ini menarik di kalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan
pengawai negeri. Hal ini disebabkan karena ke-khas-an yang tidak begitu
membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang
terdapat dalam tarekat-tarekat lain. Tarekat ini mempunyai pengaruh yang
besar di dunia Islam, sampai saat ini tarekatSyadziliyah terdapat di Afrika
Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa
tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir
tempat awal mula penyebaran tarekat ini, mempunyai beberapa cabang, yakitu :
al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah,
al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah,
al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Di
Indonesia, pengamalan tareqat ini tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah,
dalam banyak kasus lebih bersifat individual dan pengikutnya relatif jarang.
Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual
rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb) dan diyakini mempunyai
kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tarekat ini mempelajari berbagai hizib,
paling tidak melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang
berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru.
B.
Ciri Khas Tarekat Syadziliyah
Setiap
anggota tarekat ini wajib mewujudkan semangat tarekat dalam kehidupan dan
lingkungan dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan.
Oleh karen itu, ciri khas yang menonjol dari anggota tarekat ini adalah :
- Mursyid tidak memberatkan murid-murid dan amalan yang diberikan pun pasti pas, sesuai dengan volume ruhani masing-masing murid.
- Murid bebas untuk menjadi apa dan bebas memiliki apa saja dalam masing-masing kondisi yang Allah takdirkan untuk mereka, tetapi dalam kondisi tersebut mereka pun pasti juga bisa menemukan jalan menuju Allah.
- Kerapian dalam berpakaian.
- Ketenangan yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, seperti asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad.
- Keyakinan bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tarekat ini dari sejak alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tarekat ini.
Syekh Abdul Djalil Mustaqim pernah dawuh bahwa mengamalkan tarekat sebagai seorang sufi bukan hanya memegang tasbih, berdzikir di masjid atau melakukan zawiyah/uzlah tanpa mempedulikan kehidupan duniawi dan kepentingan masyarakat. Menurut Beliau, salat 5 waktu dengan disiplin, mencari nafkah dengan jujur, menuntut ilmu dengan bersungguh-sungguh, merupakan kehidupan bertarekat. Tetapi itu semua jangan sampai menyebabkan kita melupakan Allah SWT. Tidak ada larangan berbisnis bagi pengikut tarekat. Bisnis tidak menghalangi seseorang untuk masuk surga, sebab ada berjuta jalan menuju Allah.
Kemudian
Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi juga pernah dawuh kepada Syaikh
Ibnu Athaillah : "Jika engkau berteman dengan seorang pedagang,
jangan berkata kepadanya : "Tinggalkan daganganmu dan kemarilah!"
Juga jangan berkata kepada seorang pckerja : "Tinggalkan pekerjaanmu dan
kemarilah!" Dan jangan berkata kepada pelajar : "Tinggalkan
pelajaranmu dan kemarilah!". Posisikan setiap orang sesuai dengan posisi
yang diberikan oleh Allah kepadanya. Para sahabat selalu setia bersama Rasulullah
saw., namun Rasulullah tidak pernah berkata kepada (sahabat yang) pedagang :
"Tinggalkan daganganmu!" begitu juga kepada pekerja, beliau tidak
pernah mengatakan : "Tinggalkan pekcrjaanmu!". Tetapi Rasulullah
membiarkan mereka dengan usahanya masing-masing seraya memerintahkan mereka
untuk bertakwa kepada Allah." Selanjutnya beliau juga dawuh :
“Tetaplah dalam posisi yang diberikan Allah kepadamu. Bagianmu yang diberikan
Allah melalui diriku pasti akan sampai kepadamu. Itulah ahwal kaum shiddiqin,
mereka keluar dari sesuatu ketika Allah SWT. sendiri yang mengeluarkan
mereka.”
C.
AJARAN TAREKAT SYADZILIYAH
Ibn
Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang tokoh Tarekat Syadziliyah yang
terkenal pada abad ke delapan Hijriyah dan salah seorang pensyarah kitab
al-Hikam memberikan kesimpulan tentang ajaran Tarekat Syadziliyah, bahwa :
“Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan
hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita
adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan
yang mendalam, dan memohon kepada-Nya agar memberikan rasa syukur kepada
kita"
Secara
umum pada pola dzikir (yang merupakan suatu hal yang mutlak) tarekat ini
biasanya diawali dengan Fatihah adz-dzikir, yaitu dengan cara para peserta
duduk dalam satu lingkaran atau dalam dua baris yang saling berhadapan,
sementara syekh duduk di pusat lingkaran atau di ujung barisan, kemudian
tentang materi dzikir al-asma al-husna yang dipakai dalam tareqat ini,
diperlukan kebijakjsanaan dari pembimbing untuk menentukan al-asma al-husna
mana yang akan diajarkan kepada murid, sebab penerapan asma Allah yang keliru
dianggap akan memberi akibat yang berbahaya secara rohani dan mental, baik bagi
sipemakai maupun terhadap orang-orang sekelilingnya.
Ibn
Atha'ilah memberikan beberapa contoh penggunaan Asma Allah sebagai berikut :
- "Asma al-Latif" (Yang Halus) harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya;
- “Al-Wadud” (Kekasih yang Dicintai) membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar;
- “Asma al-Faiq” (Yang Mengalahkan) sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang arif yang telah mencapai tingkat tinggi.
- Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid dengan tidak musyrik kepada Allah serta ketaqwaan terhadap Allah Swt. lahir dan batin yang diwujudkan dengan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah Swt.
- Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
- Berpaling (hati) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
- Ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
- Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima doktrin ini juga tegakkan di atas lima sendi sebagai berikut :
- Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
- Berhati-hati dengan yang haram, dengan iini dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatan.
- Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikan kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
- Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan hidup.
- Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain
itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan
akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) juga merupakan salah
satu pandangan tarekat ini, karena menurut Ibn Atha'illah, hal ini jelas
merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah
menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan
hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya
untuk berbuat positif.
(Materi Pelajaran Akidah Akhlak Kelas XII
MA)
Dikutip dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar